Jumat, 15 Mei 2009

Mahasiswa dan Masa Depan Indonesia


Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan
Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan
(Taufiq Ismail, 1966)
Mahasiswa yang dikenal sebagai educated people (kaum terpelajar) mempunyai tanggung jawab besar dalam memperbaiki bangsa ini. Gelar sebagai Agent Of Change yang disematkan padanya semestinya menjadi spirit yang selalu menggelora sepanjang masa, karena ‘change’ adalah kemutlakan dalam kehidupan ini. Namun, pertanyaannya kemana kita pergi?
Indonesia yang katanya ‘Tanah air beta’ ini tengah dihadapkan dengan beragam problematika. Krisis kepercayaan merebak ke setiap individu anak bangsa bersamaan luluhnya kejujuran, karena semakin meningkat krisis kepercayaan, maka ini indikasi semakin menurunnya kejujuran. Rakyat di negeri ini memang betul-betul diartikan sebagai rakyat, kalaupun ada yang melirik mereka, maka dapat dipastikan itulah masa-masa pilkada dan pemilu yang kata orang tua kita dulu ada udang di sebalik batu. Namun, ketika berbicara kesejahteraan dan kemakmuran – terpenuhi makan, pendidikan dan kesehatan – maka itu hanya agenda yang kesekian kali dan prioritas masa ahir jabatan agar terpilih kembali. Inilah pertanda sebuah bangsa yang menuai degredasi moral, ia manusia yang tak mengenal penderitaan manusia. Seperti yang dikatakan Titus Maccius Plantus ratusan tahun silam, “Homo Homini Lupus” (Manusia pemangsa bagi sesamanya).
Secara de jure dan de fakto kita memang merdeka dan itu telah 63 tahun lamanya 64 tepatnya Agustus 2009 besok. Penjajah tak lagi berseliweran di depan mata kita, ia tak lagi minta upeti dari jerih payah rakyat kita. Namun, ternyata yang muncul adalah ‘penjajah’ baru, matanya sama dengan mata kita, kulitnya tak berbeda dengan kita, tingginya setinggi kita, tapi ia lebih penjajah dari penjajah,. ia orang yang mau terkurung di luar, ia menggunting dalam lipatan. Reformasi yang meminta ‘tumbal’ dari perjuangan mahasiswa, sampai kini belum ada perubahan yang subtantif. Sistem pemerintahan yang berubah sentralisasi menjadi desentralisasi justru menjadi lahan subur bagi para koruptor untuk lebih leluasa mencengkramkan kukunya. Seperti yang dirangkai Sutarji Calzoum Bachri,
Tanah air kita satu
Bangsa kita satu
Bahasa kita satu
Bendera kita satu
Tapi wahai saudara satu bendera
Kenapa kini, ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?

Inilah sebagian kecil problem yang mendera bangsa ini, yang semakin hari semakin menggelinding menjelma menjadi bom waktu. Kalau mahasiswa terdiam, acuh, apalagi apriori dengan semua ini, maka ‘kutukan’ para pendahulu kita angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1998 yang telah mengorbankan segenap kemampuan mereka buat keberlangsungan negeri ini lambat laun akan menimpa kita. Ia bisa berbentuk dangkalnya nasionalisme anak bangsa, pesimisme, dan kalau itu berobah menjadi apatisme, kata pahlawan reformasi Amin Rais, “Masih bisakah kita melihat masa depan kita dengan kepala tegak dan yakin diri?”
Melihat ini semua, mahasiswa yang merupakan iron stock (cadangan masa depan) harus mempersiapkan diri dan memaksimalkan potensinya. Inilah yang tergambar dalam ‘Tri Darma Perguruan Tinggi’ Selaku insan akademis ia mesti belajar dan belajar, melakukan penelitian demi penelitian hingga mempunyai spesialisasi keilmuan yang semuanya itu sangat dibutuhkan bangsa ini. Karena, salah satu indikator sebuah bangsa yang maju adalah banyaknya penelitian yang dilakukan. Kemudian mahasiswa harus terlibat dalam ragam kegiatan kampus, lewat organisasi-organisasi, karena masih banyak hal yang tidak didapatkan di ruangan kelas. Di organisasilah ia akan belajar memimpin, membangun human relation, dan ragam kegiatan lainnya. Selanjutnya mahasiswa tidak boleh menjadi ‘menara gading’ yang indah dipandang, namun sulit dijangkau. Mahasiswa mesti memasyarakat, ia tak boleh berjibaku dalam laboratorium sepanjang waktu. Maka, pengapdian pada masyarakat merupakan hal yang tak bisa ditawar dan mesti ia lakukan.
Dengan melakukan peran-perannya selaku creative minority, maka mahasiswa tengah mengoret-oret masa depannya yang juga masa Indonesia. Seperti yang dikatakan para founding fathers bangsa ini,
Kalau kalian tidak menginginkan Indonesia hilang dari peta dunia, maka cintailah ia sepenuh hati, yaitu dengan keikhlasan.”




Read More......

Sabtu, 02 Mei 2009

Selamat Jalan Mbak Intan…


“Aslm innalillahi wa inna ilaihi raji’un, telah berpulang kerahmatullah Ruwaida Mutia krn asma, mari kita doakan bersama saudari qt.

Inilah sms yang masuk ke hp saya ketika baru sekitar lima menit sampai ke Bangkinang dalam agenda dakwah. Terus terang saya terkejut, karena baru dua hari yang lalu saya dan teman-teman Forum Lingkar Pena (FLP) termasuk dia rapat di galeri Ibrahim Sattah membicarakan agenda talk show nasional, dan dia bendahara dalam kepanitiaan tersebut. Mendapat kabar tersebut saya langsung minta diantar pada akh Firdaus ke jalan raya Bangkinang untuk kembali ke Pekanbaru. Di mobil pun saya masih sibuk mengirimkan sms tersebut ke teman-teman FLP lainnya termasuk pengurus FLP pusat. Ketika saya sampai di klinik dr. Hasni sekitar pukul 11.45 orang-orang – umumnya kader dakwah – telah berjibun di sana, sehingga saya tak sempat melihat langsung jenazah beliau. Tak lama setelah itu beliau pun di boyong ke rumah neneknya untuk di mandikan dan prosesi fardu kifayah lainnya.
“Yang lain mana, Mbak?”
“Belum nampak.”
“Mbak! Ustadz minta surat itu secepatnya. Mbak Intan bisa ketikkan?”
“Kapan ane serahkan?”
“Besok pagi.”
“Di mana?”
“Di Arfaunnas.”
“Insya Allah.”
“Atau Mbak antarkan ke komsat aja, bisa!”
“O, iyalah. Insya Allah bisa.”

Setiap orang yang berjumpa/ berteman atau berorganisasi dengan Ruwaida Muthia atau akrabnya Intan Amlan tentu punya kenangan yang beragam bersamanya. Apalagi orang tua dan sanak saudaranya yang tentunya lebih banyak berinteraksi dengannya. Saya saja yang baru setahun lalu – tahun 2008 ketika muswil FLP di rumah teh Dina – mengenalnya dan kemudia sama-sama sebagai pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah riau, telah menyimpan dokumentasi kebaikannya, apalagi mereka yang telah mengenalnya lebih dahulu dari saya.
Percakapan pada tulisan ini adalah sebagian interaksi saya dengan beliau. Di FLP beliau sangat aktif, baik hadir dalam agenda syuro maupun masukan-masukan lewat telepon/sms, termasuk beberapa waktu lalu beliau sempat bilang, “Pak, ane kira tempat talk show di BPA itu nggak muat, karena biasanya peserta itu membludak pada hari H-nya.”Tidak jarang juga pada syuro yang kita agendakan ia telah hadir duluan on-time seperti yang saya temui di puswil, sementara yang lain masih belum terlihat. Namun, ia telah pergi, ya Allah telah memanggilnya sebelum ia sempat bertemu mbak Asma Nadia seperti yang ia impikan sebelumnya. Laksana Amar bin Yasir, Mus’ab bin ’Umair, Hamzah bin Abdul Muthallib, Mu’az bin Jabal dan para syuhada lainnya yang terkubur di Baqi’ sebelum sempat menyaksikan kemenangan Islam. Ia memang tak berjumpa Asma Nadia, ia tak sempat menyaksikan meriahnya acara, namun ia berjumpa dengan pemilik jagad raya Allah Swt, laiknya para syuhada yang disambut para bidadari yang bermata jeli. Semoga.
Dalam hal kepenulisan Intan telah menunjukkan eksistensinya, ia sangat mengerti makna kehidupan ini, karena hidup sesungguhnya tidak bisa dibatasi oleh usia. Boleh jadi ada orang yang berakhir hidupnya bersama tamatnya usia, atau bahkan tak dihitung hidup walaupun usia masih tersisa. Namun Intan telah keluar dari ruang tersebut, ia telah bekerja buat peradaban. Seperti dikatakan Francis Bacon, ”Manusia boleh mati, tapi ia bisa memperpanjang umurnya, jika ia meninggalkan sesuatu yang ’abadi’ yaitu sebuah karya. Karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan ke’arifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil-hasil karya yang lain, semisal monumen istana, candi ataupun sebuah kota.” Terbukti dua naskah buku non fiksinya sekarang lagi digarap penerbit. Begitupun dalam naskah antologi cerita pendek FLP Riau. Beliau sebagai Humas FLP cukup concern pada amanahnya, walaupun terkadang perlu saya ingatkan untuk selalu me-update tulisan-tulisan di blog yang dikelolanya. Makanya kita di FLP betul-betul kehilangan anggota sekaligus pengurus terbaik seperti beliau.
Semoga catatan ini singkat merupakan bagian dari upaya kita untuk mengakui bahwa ia pernah ada di gelanggang kehidupan ini. Kalau dulu ketika ia lahir disambut dengan kegembiraan, maka dihari kembali kepada-Nya tidak sedikit yang berderai air mata sampai saat ia diantarkan ke tempat peristirahatan terahir.
Buat teman-teman FLP kembali kita rapatkan shaf. Banyak hal yang harus kita perbaiki ke depannya, termasuk peningkatan kualitas penulisan dan manajemen organisasi. Ukhtina Intan telah menunaikan amanahnya dengan baik, dan bagi kita kembali menyelesaikan tugas-tugas yang masih banyak harus kita sempurnakan.
Selamat jalan mbak Intan…semoga kita bertemu di ‘kafe langit’ dan ‘menulis’ buat selamanya.



































































Read More......

Goresan Kebenara


Oleh: Wamdi*

“Saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku letakkan kepala
dan saat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah,
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?”
(Imam An-Nawawi)

Apa yang menyentak-nyentak hati mereka, sehingga tergugah mengunjungi sang guru walaupun telah berdiam di balik jeruji besi? Tiada lain selain kebenaran qaul (ucapan) dan upaya membumikannya, sehingga ia tumbuh laksana pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan pucuknya menjulang ke langit. Kata-kata yang tak menuai pelapukan tatkala hujan dan tak mengalami kelekangan di musim panas. Ia tempat si musafir bernaung dari sengatan sang surya, payung raksasa manakala hujan. Di akarnya mereka bersila, di batangnya mereka bersandar, dan memetik buah ranum manakala lapar.
”Madza sana’mal lakum, ya ustazina? (Apa yang bisa kami lakukan untuk anda wahai guru?”
”Tolong berikan padaku arang-arang yang berserak di luar itu,” jawab sang guru dengan suara agak melemah karena diguras penyiksaan dari hari ke hari. Lewat goresan arang-arang tersebutlah lahir karya-karya monumental yang menjadi referensi bagi generasi berikutnya dan orang yang mereka panggil guru tersebut adalah Syekh Imam Ibnu Taimiyah rohimallahu.
Tradisi menulis di kalangan para ulama – tepatnya di kalangan umat Islam – bukanlah hal yang baru. Ini terlihat dari kitab-kitab yang menjadi bahan rujukan para pengajar, santri di pesantren-pesantren, universitas-universitas dan tempat pengajian lainnya. Tulisan-tulisan para ulama tersebut menjadi referensi karya ilmiah.
Lalu pertanyaannya, apa yang membuat goresan tinta mereka ’abadi’ sebagai rujukan? Jawabannya tentu keikhlasan, ya keikhlasan menuliskan kebenaran. Mereka adalah para dai yang memahami keterbatasan usia. Mengerti muhimmah (urgensi) yang dipendam dalam sebuah tulisan. Maka asimilasi keterbatasan usia dan urgensi sebuah tulisan inilah yang menggerak pribadi-pribadi mereka untuk selalu menelurkan karya yang pada akhirnya akan menetas menjadi kebenaran yang melintasi generasi, teritorial di mana mereka sendiri tak pernah hadir di sana.
Lihatlah Sayid Qutb dengan Tafsir Fi Zhilalil Qur`an dan Maalim Fit Thariqnya, HAMKA dengan tafsir Al-Azharnya. Karya-karya tersebut terlahir di balik jeruji besi. Sayid Qutb yang ditahan Gamal Abdul Nasser karena dituduh melakukan egitasi Antipemerintah, HAMKA yang dianggap sebagai penghianat pada tanah air. Namun, mari kita dengarkan apa yang dikatakan HAMKA, “Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al Qur’anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa terpencil dua tahun telah saya pergunakan untuk sebaik-baiknya.”
Raga mereka boleh saja disiksa, namun jiwa mereka adalah jiwa yang merdeka. Fisik mereka bisa saja dikungkung, namun nuraninya terbang sebebas-bebasnya. Jasad mereka memang didera penderitaan tiadatara, namun gagasan dan ide besar mereka telah melanglangbuana menembus selat dan benua. Seperti yang dikatakan Abdullah Azzam, “Sejarah Islam ditulis dengan hitamnya tinta ulama dan merah darahnya para syuhada.”

*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Riau.

Read More......

Sepucuk Surat Buat Mahasiswa

Oleh: Wamdi

Kawan!

Apa kabarmu pagi ini?

Adakah jawabanmu seperti semasa kita PNDK dulu?

“Alhamdulillah! Luar biasa!”

Tegas, lugas, semangat dan penuh wibawa

Atau pagi ini kau masih tertidur

Walaupun mentari telah meninggi

Kalau kau kutanya nanti

Jawabmu,

Tadi malam belajar sampai larut malam

Kawan!

Kusarankan,

Besok malam kau letakkanlah jam weker di sampingmu

Biar jangan kau takik ilmu di kepala

Tapi tak ada aplikasi di alam nyata

Aku tau kau takut pada dosenmu

Tapi tak takutkah kau pada si Penguasa dosenmu?

O, maaf!

Cepatlah mandi

Bukankah negeri kita ini macet di sana sini

Bisa-bisa terlambat kau nanti

Bertemu dosen emosi

Kawan!

Kenapa kau tediam?

Mimpi apa sebenarnya kau semalam?

Mimpi kampus kita yang megahkah kiranya?

Yang pelayanan birokrasinya mudah?

Dengan masjid di tengah-tengahnya?

Yang berhenti aktivitas setiap waktu shalat?

Atau kau sedangkan memikirkan KHS kita yang tak siap-siap

Dengan bayaran ini, bayaran itu yang semakin meningkat

Ah, kita terlalu lembut, Kawan

Sehingga kelembutan kita dimanfaatkan

Kawan!

Sambil duduk-duduk

Kusampaikan padamu pesan pendahulu kita

angkatan ’28, ’45, ’65, 74 dan ‘98

yang ditulis Taufiq Ismail dalam puisinya ‘Salemba’

“Alma Mater, janganlah bersedih

Bila arakan ini bergerak berlahan

Menuju pemakaman

Siang ini

Anakmu yang berani

Telah tersungkur ke bumi

Ketika melawan tirani.”

Kawan!

Satu hal lagi yang ingin kuingatkan padamu,

“KITA MAHASISWA!!!”


Read More......

Sabtu, 07 Februari 2009

Catatan Sejarah 2008




“Adakah orang yang menulis sejarah hidup kita? Kalau tidak ada kenapa kita tidak menjadi wartawan bagi diri sendiri!”
• 16 Januari 2008 juara 3 lomba pidato berbahasa Arab yang ditaja HMJ jurusan Pendidikan Bahasa Aran UIN Suska Riau.
• 17 Januari 2008 juara 3 lomba pidato berbahasa Indonesia dengan tema ‘Pendidikan’ yang ditaja BEM Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau dalam rangka Muharam Fair. Judul pidato ‘Keberhasilan Pendidikan Dalam Perspektif Islam.’
• 4 Februari 2008 berhasil menambah perpustakaan KAMMI komisariat UIN Suska Riau, dengan jumlah buku 103 buah dari perpustakaan Wilayah Riau Soeman HS.
• 14 Februari 2008 mengikuti diskusi panel dengan tema ‘Problema Listrik Riau’ yang ditaja Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di hotel Sri Indrayani Pekanbaru.
• 24 Februari 2008 pemateri ‘Ahammiyah Syahadatain’ pada acara Daurah Al-Ula yang ditaja BKIM FE UNRI.
• 1 Maret 2008 mengisi perwiritan di Sukajadi.
• 1 Maret 2008 (malam) menghadiri milad HMI di hotel Mona Plaza Panam Pekanbaru.
• 2 Maret 2008 cerita pendek yang berjudul ‘Cerpen yang Tak Jadi’ dimuat di Koran harian Riau Mandiri.
• 18 Maret 2008 kunjungan ke Riau Mandiri bersama teman-teman buletin Ar-Royan UNRI.
• 20 Maret 2008 ceramah maulid Nabi di DK 2 Dalu-dalu (Rokan Hulu).
• 25 Maret 2008 menghadiri launcing 4 novel yang mendapat anugerah Bandar Serai di arena MTQ Pekanbaru.
• 30 Maret 2008 moderator pada acara temu kader Forum Mahasiswa Rokan Hulu (Formis Rohul) cabang UIN Suska, di Aula Fakultas Tarbiyah & Keguruan. Pembicara Zabarudi ST (anggota DPRD Pekanbaru)
• 12 April 2008 mengikuti diklat jurnalistik yang diadakan tabloid Visi
di Universitas Lancang Kuning (Unilak), sebagai utusan tabloid Gagasan (Tabloid mahasiswa UIN Suska) bersama Rohayati.
• 13 April 2008 mengikuti seminar daerah yang ditaja Rumpun Pemuda Pelajar dan Mahasiswa (RPPM) Rokan Hulu, di hotel Mona Plaza Pekanbaru.
• 20 Mei 2008 mendengarkan tausyiah Aa Gym di Masjid Agung An-Nur Pekanbaru.
• 25 Mei 2008 MC pada acara ‘Dialog Pakar Enterpreneurship’ yang ditaja KAMMI Daerah Riau di Balai Pelatihan Tanaman Pangan (BPTP) Pekanbaru. Menghadirkan Basrizal Koto.
• 1 Juni 2008 diamanahkan sebagai ketua umum Forum Lingkar Pena Wilayah Riau.
• 16-17 Juni 2008 mengikuti pelatihan penulisan puisi & cerpen yang ditaja Dinas Kebudayaan & Pariwisata Riau, bertempat di Taman Budaya Provinsi Riau. Pembicara Ahmadun Y.H (puisi) Redaktur sastra Republika & Raudal Tanjung Banua (cerpen) sastrawan Yogyakarta.
• 6 Juli 2008 juara 2 lomba pidato tingkat kecamatan Tampan, yang ditaja KNPI & JPRMI.
• 12-13 Juli 2008 mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat lanjut yang ditaja LPM Gagasan UIN Suska Riau.
• 11-13 Juli 2008 mengikuti silaturrahmi Nasional FLP, bertempat di PPPPTK Jakarta. Dari Riau Wamdi, Bambang, Herleni dan Satri.
• 15 Juli 2008 mabit di Pon-Pes Darut Tauhid (Pesantren Aa Gym) Bandung.
• 22 Juli 2008 menghadiri bedah buku ‘Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia’ karya Ishak Rafick, yang ditaja Garda Kemerdekaan Bandung (GKB), bertempat di aula utama sejarah, Bandung.
• 23-27 Juli 2008 mengikuti Dauroh Marhalah 2 KAMMI, diselenggarakan oleh KAMMI Daerah Bandung, bertempat di Pon-Pes Asy-Syifa’ di kabupaten Subang Jawa Barat.
• 1 Agustus 2008 silaturrahim ke redaksi majalah Tarbawi, Jakarta.
• 15 Agustus 2008 narasumber bersama Hendra (presma UNRI) pada dialog ‘Politisi Busuk’ di Radio Barnabas FM, Pekanbaru.
• 24 Agustus 2008 pelantikan pengurus FLP wilayah Riau oleh Al-Azhar (Dewan Pembina FLP Riau) di Galery Ibrahim Sattah, Pekanbaru.
• 28 Agustus 2008 menghadiri seminar nasional & se-abad Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang ditaja HMJ Bahasa Indonesia FKIP Unri.
• 3 September 2008 menghadiri bedah buku ‘Selamatkan Indonesia’ bersama penulisnya M. Amin Rais, di Universitas Muhammadiyah Riau (Umri).
• 4-8 September 2008 penelitian tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilgubri, tempat kecamatan Kabun & Tandun kabupaten Rokan Hulu Riau.
• 9 September 2008 santapan Ramadhan di masjid Arfaunnas Unri.
• 11 September 2008 buka bersama teman-teman Buletin Ar-Royan Unri & santapan Ramadhan di masjid Darul Amal Buluh Cina Pekanbaru.
• 14 September 2008 moderator pada dialog akademik ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan & Teknologi’ yang ditaja FKII Asy-Syam UIN Suska. Pembicara Frof. Dr. Nazir Karim (Rektor UIN Suska Riau) & Edy Rusdi (Presma UIN Suska).
• 15-16 September 2008 mengikuti traning ISQ di hotel Indrayani Pekanbaru.
• 17 September 2008 pemateri ‘Urgensi Dakwah Kampus’ yang ditaja Forum Kajian Mahasiswa Syariah (FK Masya) UIN Suska Riau.
• 18 September 2008 menghadiri launcing buku kumpulan puisi ‘Menuju Ruang Kosong, Menjemput Firman’ karya Taufik Effendi Aria, bertempat di hotel Indah Graha Pekanbaru.
• 20 September 2008 buka bersama teman-teman FLP di masjid Munawwarah Universitas Islam Riau (UIR).
• 25 September 2008 santapan Ramadhan di Lubuk Bendahara, Rokan Hulu.
• 27 September 2008 buka bersama alumni Pon-Pes Darussalam Rokan Hulu, di rumah pimpinan Pesantren (H. Alaidin Aidarus Ghani).
• 29 September 2008 buka bersama teman-teman pelajar, mahasiswa & tokoh masyarakat di kampung (Tanjung Medan) Rokan Hulu.
• 1 Oktober 2008 khotbah Idul Fitri di kampung.
• 9 Oktober 2008 silaturrahim menemui ketua PGRI Riau (Drs Isjoni) & Rektor UIN Suska Riau (Frof. Dr M. Nazir Karim).
• 26 Oktober 2008 moderator pada acara Open House KAMMI komisariat UIN Suska Riau ‘Optimalisasi Peran mahasiswa Dalam Membangun Bangsa’ di hotel Mona Plaza. Pembicara Johar Firdaus (Ketua DPRD Riau), Frof. Dr M. Nazir Karim (Rektor UIN Suska Riau).
• 6-9 November 2008 Master Of Traning (MOT) pada Dauroh Marhalah 1 KAMMI komisariat UIN Suska Riau.
• 10 November 2008 moderator bedah buku ‘Mencari Pahlawan Indonesia’ karya M. Anis Matta. Ditaja oleh Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Suska Riau di PKM. Pembicara Drh. Khaidir (tokoh masyarakat Riau) & Edy Syahrizal (mantan ketua umum KAMMI daerah Riau).
• 16 November 2008 pemateri ‘Menajmen Organisasi’ di MAN 1 Pekanbaru.
• 4-5 Desember 2008 rihlah ke Bukit Tinggi bersama teman-teman LKP Sospolbud (Lembaga Kajian Pendidikan, Sosial, Politik dan Budaya) Provinsi Riau.
• 6 Desember 2008 menghadiri seminar yang ditaja ICMI Riau di hotel Pangeran, Pekanbaru.
• 19 Desember 2008 khatib di PKM UIN Suska Riau.
• 20 Desember 2008 juara 1 lomba resensi buku tingkat mahasiswa, yang ditaja Perpustakaan Soeman HS Provinsi Riau. Buku yang diresensi ‘Laskar Pelangi’.

Read More......

Minggu, 07 Desember 2008

Malaikat-malaikat Kecil


Oleh: Wamdi

uang logam itu telah menyesakkan isi celengan Ani. Dua bulan terakhir ini sisa uang jajan yang dikasih Ummu Salamah – pengasuh panti asuhan Darun Niswah – memang lebih banyak dimasukkannya ke dalam celengan yang berbentuk ayam betina itu. Mulai uang logam seribu rupiah sampai yang terkecil. Seratus rupiah. Untung saja asramanya itu tidak dihuni oleh anak-anak yang suka mengambil barang sesama mereka. Ummu Salamah selalu memberi wejangan, supaya dia dan teman-temannya tidak berbuat sembarangan dengan milik orang lain apalagi sampai mengambilnya.

Ani merencanakan celengannya itu dibuka pas hari ulang tahunnya nanti, tepatnya tanggal lima belas November. Sekarang bulan Agustus, berarti masih ada waktu tiga bulan lagi. Tapi, ayam betinanya itu sudah kekenyangan, kalau dia hidup mungkin jalannya sudah terseok-seok, seperti ular yang menelan kambing tuk Badrun seminggu yang lewat. Gadis kecil itu merencanakan lagi membeli celengan baru, kalau ada yang berbentuk ayam jantan sehingga akan tampak sepasang.

Ummu Salamah yang sembunyi-sembunyi ternyata memperhatikan apa yang dilakukan Ani. Sepulang sekolah anak-anak panti itu berhamburan ke dapur, tanpa mengganti pakaian seragam sekolah mereka terlebih dahulu, tapi, Ani langsung ke kamar dan merogoh kantong tas-nya, mengeluarkan kepingan-kepingan logam itu, sejurus kemudian memasukkannya kedalam celengan yang terletak di atas lemarinya.

Begitupun hari ini. Ummu Salamah melihat Ani tersenyum-senyum ketika tangan mungilnya menyuapkan logam-logam itu ke dalam mulut ayam betinanya. Wanita itu pun tersenyum. Baru kemaren rasanya Ani yang waktu itu masih bayi diserahkan ke panti Darun Niswah ini oleh pihak rumah sakit Mustasyfa. Waktu itu pihak rumah sakit menceritakan kejadian yang menimpa keluarga Ani. Ayahnya yang bekerja sebagai kuli bangunan menjadi korban gempa bersama lima ratus lebih korban lainnya. Ketika ia sedang menyusun batu bata di bangunan rumah salah seorang penduduk. Beruntung ibunya waktu itu sudah berada di rumah sakit dua hari sebelum kejadian yang mengganaskan itu. Sehingga rumah bersalin tempat ibunya dirawat tidak kena getaran yang begitu kuat, walaupun banyak pasien yang dilarikan keluar ruangan. Namun, mujur tak dapat dipinta malang tak dapat dielakkan. Ketika dia baru hadir sekitar lima menit di alam fana ini, ibunya pun diboyong malaikat maut ke alam Barzakh. Ah, kalau mengingat itu mata Ummu Salamah tak sanggup menahan tangis. Iba.

Kini Ani atau lebih lengkapnya Annisa sudah besar dalam penglihatannya. Ani sudah bisa menyisihkan uang sakunya dan ditabung. Kalau bicara sangat lancar walaupun sampai sekarang Ani masih harus berjuang mengucapkan huruf "R" yang belum pas. Tapi setidaknya Ani bukan Ani yang dulu lagi, yang suka membangunkannya ditengah malam dan merengek minta dibuatkan susu. Kalau Ani bertanya siapa ibu dan ayahnya Ummu Salamah tak pernah menyembunyikan. Bahkan tiga hari yang lalu Ani minta padanya menceritakan kembali ayah dan ibunya. Awalnya dulu Ani memang menangis mendengarkannya, tapi belakangan ini dia lebih banyak mendoakan ayah dan ibunya itu. Apalagi Ummu Salamah selalu mengatakan sekarang ini ialah ibunya dan suaminya sebagai ayah dari anak-anak penghuni panti Darun Niswah ini. Walaupun suami perempuan itu hanya pulang sekali seminggu, karena bekerja di luar kota.

Berlahan-lahan dia dekati anak itu.

"Eh, Ummi!" ucap Ani tersentak ketika tangan Ummu Salamah menyentuh pundaknya.

"Ani belum makan, sayang?" tanyanya. Tangannya sudah merangkul leher Ani.

"Belum, Mi! bental lagi," tangannya masih memasukkan sekeping lagi. Seratus rupiah.

"Berapa Ani isi celengannya hari ini?"

"Tujuh latus, Mi!" ucapnya. Wajahnya tampak ceria.

"Lo, tadi di sekolah Ani belanja apa yang delapan ratusnya lagi?" Ummu salamah setiap paginya memberikan uang jajan masing-masing anak-anaknya itu seribu lima ratus.

"Lima latus tadi beli kue dan tiga latusnya Ani masukkan kecelengan mushala. Kata Bu Aisyah di sekolah tadi, kalau kita lajin shadaqah bisa Bantu abi dan umi yang telah meninggal." Ucapan itu seperti menyihir Ummu Salamah. Kata-kata itu meluncur tanpa beban, tapi mengandung makna yang sangat dalam. Mulia sekali hatimu, Nak. Tak sia-sia dia mendidik mereka selama ini. Walaupun mereka bukan anak kandungnya, namun Allah telah memberikan anak-anak yang mungkin jauh lebih baik dari yang dipintanya selama ini. Dia masih ingat si Musdalifah yang waktu itu masih kelas enam SD sudah hafal Quran tiga belas juz. Sekarang sudah melanjutkan sekolahnya ke pesantren Darul Quran. Sebulan lalu Wita mendapatkan penghargaan sebagai pengarang terbaik cerpen anak yang diselenggarakan Riau Pos. Dia lagi makan siang di belakang sana bersama teman-temannya. Dan saat ini dia merasakan getaran yang cukup hebat mendengar kata-kata Ani. "Kata Bu Aisyah di sekolah tadi, kalu kita lajin sadaqah bisa Bantu abi dan umi yang sudah meninggal." Anak yang baru berumur lima tahun. Baru sekolah taman kanak-kanak, tepatnya taman-kanak-kanak Raudotul Atfal. Dari mana dia tahu kasih sayang abi dan uminya padahal dia tidak pernah mengenalinya.

"Subhanallah, subhanallah," berulang kali lafaz tasbih itu meluncur dari seorang ibu yang telah mengasuhnya selama ini. Maha suci Allah yang telah berbuat sekehendaknya. Air matanya pun berurai.

"Mi! Umi nangis, ya?" Tanya Ani, ketika air mata ibu asuhnya itu menimpa tengkuknya.

"Tidak sayang, umi cuma senang mendengar cerita kamu," tangannya mengusap matanya yang basah.

"Kalau Ani senang Ani senyum, juga ketawa. Kalau Ani sedih Ani menangis. Kalau Ani sakit Ani merintih. Tapi, Umi senang, kok nangis? tanyanya lagi. Ah, orang tua macam-macam aja, pikirnya.

"Ya, sudah, sekarang Ani ganti baju dulu dan makan bersama teman-teman dibelakang sana, ya!" Ummi Salamah melepaskan pelukannya. Tak perlu rasanya Ani sekarang tahu kenapa dia begitu. Ia hanyalah satu diantara sekian banyak orang dewasa yang munafik pada diri sendiri. Yang matanya menangis padahal hatinya senang. Yang tersenyum padahal hatinya merintih. Setelah Ani berangkat ke dapur wanita itu pun bergegas ke depan.

Isya baru saja berlalu. Asrama terdengar riuh. Beberapa orang tampak membentuk lingkaran, mereka mengaji sama kak Fina yang sekarang sudah kelas tiga SMP. Mereka saling bergantian membaca buku iqrak dan yang lain mendengarkannya, sekali-kali ada yang menunjuk tangan dan bertanya dari bacaan yang tidak mereka pahami. Sedangkan di tempat shalat sana tampak Afirah, Kalsum, Tari, Ima dan Tesya lagi menghafal ayat-ayat Al-Quran. Mata mereka kadang-kadang dipejamkan, sejurus kemudian tampak dibuka lagi. Begitulah selalu yang mereka lakukan, hingga ayat-ayat Tuhan itu terpasung dalam otak mereka. Sementara di lorong menuju ke dapur terlihat Ani dan empat orang anak lainnya duduk dengan berbaris. Lima gadis cilik itu mendengar Ummu Salamah bercerita, di temani sebuah laptop. Ani duduk di depan sekali.

"Jadi, setelah Pinguin mendengarkan cerita tentang Buaya itu dari Kelinci. Pinguinnya tidak takut lagi sama buaya, karena ternyata tidak semua Buaya itu suka berbuat jahat. Kita lihat contohnya tadi bagaimana Buaya membantu anak-anak Penyu untuk berenang di laut," wanita paruh baya itu sedikit menerangkan bagian film yang mereka tonton itu.

Ummu Salamah kembali menyalakan laptopnya. Ani dan teman-teman semakin penasaran dengan kelanjutan cerita dari film "Petualangan Pinguin dan Kelinci." Mata bulat mereka terfokus pada laptop dipangkuan pengasuhnya itu.

Lima belas menit kemudian, setelah pemutaran film berakhir, Ani mengacungkan tangan. Bertanya. Ummu Salamah mempersilakannya.

"Umi, Ani mau Tanya, tapi tidak mengenai film ini. Boleh nggak, Mi?"

"Ya, tak apa-apa, sayang. Kalian boleh tanya masalah apa saja."

"Tadi pagi di sekolah Ibu gulu bilang kalau kita tidak belagama Islam, maka apa yang kita belikan sama olang lain nggak ada nilainya. Waktu Ani mau Tanya, Mi! Eee, belnya malah bunyi. Ani tak jadi beltanya. Waktu istilahat Ani pelgi main buayan sama teman-teman. Setelah itu Ani masuk pelut gajah, buaya dan juga zelafah dan..."

"Ya, Aninya mau Tanya apa, sayang," Ummu Salamah memotong cerita anak gadis itu, yang sudah meluas ke sana ke mari. Sementara temannya yang lain terbahak-bahak mendengar Ani mengatakan, "Pelut gajah dan zelapah," ketika menceritakan patung gajah, buaya dan zerafah yang terletak di depan kelas mereka.

"Eh, iya Ani hampil lupa. Yang mau Ani tanya. Ani punya teman, di sebelah lokal Ani! Namanya Malia. Dia suka sekali membagi-bagi kue di sekolah. Tapi.."

"Tapi, kenapa sayang," potong Ummu Salamah.

"Tapi dia beda agama dengan Ani, Mi! dia bilang agamanya Kelis, Kelis.."

"Keristen, maksud Ani."

"Betul, Mi! agamanya sepelti yang umi bilang itu," Ani belum juga bisa menyebutnya.

"Jadi, kalau beda agama dengan Ani. Malia nggak dapat nilai dong Mi! padahal dia satu sekolah dengan Ani," Ani tampak kesal. Sementara empat temannya, tampak asik mewarnai beragam gambar binatang yang tubuhnya masih berbentuk garis yang terpotong-potong.

Memang beberapa tahun belakangan ini Ummu Salamah mendengar, kalau TK Raudhotul Atfal sudah menerima anak-anak non muslim. Jadi, tentu di sana anak-anak muslim sudah berbaur dengan teman-temannya yang berbeda agama. Salah satunya Maria, seperti yang diceritakan Ani. Tapi, Ummu Salamah bingung, kenapalah gurunya Ani membicarakan sesuatu yang membingungkan anak-anak. Dan sekarang juga membingungkannya menjawab pertanyaan gadis kecil yang duduk di depannya. Bingung Bagaimana menjelaskannya sehingga Ani bisa mengerti.

"Ani, nilai yang dibilang Bu Aisyah itu, bukan seperti nilai Ani yang diberikannya waktu menggambar, tapi.."

"Jadi, nilai bagaimana lagi, Mi?" desak Ani penasaran. "Selama ini kalau gambal yang Ani buat bagus, Bu Aisyah ngasih nilai seratul dan Malia seling juga dapat selatus kok, Mi! dari gulunya Bu Maimunah. Bahkan ketika tanding nyanyi, Malia lebih bagus sualanya dari Ani," akunya. Ani memberontak.

Ummu Salamah makin sulit rasanya menjelaskan. Ani orangnya memang suka bertanya. Bahkan kalau di kelas Anilah yang paling doyan bertanya. Dia kembali mencari alasan lain yang lebih mudah dipahami gadis kecilnya itu.

"Ani, nilai yang dibilang Bu Aisah tadi itu artinya pahala."

"Pahala!!!"Ani makin bingung. Ia mengerutkan keningnya sehingga ujung-ujung alisnya bertemu. Alisnya tebal seperti elang yang membentangkan sayap.

"Sekarang begini," Ummu Salamah cepat mencari solusi lain. Jangan sampai terlalu lama Ani dalam kebingungannya. Ya Allah berikan kemudahan pada hamba menerangkan kebaikan pada malaikat kecilmu ini. Rintihnya.

"Kalau nilai itu dari guru, sedangkan pahala dari Tuhan. Nah, Tuhannya Ani-kan beda dengan Tuhannya Maria." Terangnya. Agak melegakan melihat kerutan kening Ani makin lenyap.

"Coba, Ani kalau shalat berapa kali tiap hari?"

"Lima kali. Coba Ani itung, ya! Subuh dua lakaat, Zuhul empat lakaat, Asal empat lakaat, Maghlib tiga lakaat dan Isya empat lakaat. Jadi, dua tambah empat! Enam, tambah empat sepuluh, tambah tiga tiga belas, tambah empat tujuh belas. Semuanya tujuh belas lakaat, Mi!"jawabnya senang.

"Kalau Maria kapan shalatnya?"

"Dia bilang hali Minggu, Mi! dan itu bukan shalat namanya, tapi sembayang. Di geleja lagi." Ummu Salamah membenarkan apa yang dikatakan Ani.

"Nah, jadi Tuhannya Ani ngasih pahala sama Ani dan Tuhannya Maria ngasih pahala juga pada Maria."

"Kalau begitu Tuhannya Malia kikil dong, Mi! masak Malia cuma dapat pahala sekali seminggu, sedangkan Tuhan Ani ngasih pahala tiap hali lima kali. Tujuh belas lagi ya, Mi!"

"Iya, tapi.."

"Ah, besok Ani kasih tahulah sama Malia, Tuhannya ganti aja sama Tuhan Ani."

"Jangan sayang! Nanti Ibunya marah."

"Lo, kok malah sih, Mi! kan bial Malia dapat banyak pahala."

"Diharapkan pada adik-adik semua untuk berwuduk dan bersiap-siap tidur, karena jam sudah menunjukkan pukul dua puluh dua" terdengar suara kak Wita menyampaikan pengunguman lewat microfon. Itu artinya tidak boleh ada kegiatan lain, semua sudah harus istirahat. Tidur.

Begitu pun dengan Ani. Ummu Salamah mengajaknya beranjak menuju kamar yang terletak di samping tempat shalat. Empat orang temannya tadi lebih dahulu sudah berlarian sebelum kak Wita menyampaikan pengunguman itu. Pertanyaan Ani? Ya pertanyaan Ani akan dijawab besok subuh. Tapi, setidaknya Ummu Salamah sedikit lega, ada kesempatan baginya mencari jawaban dari pertanyaan gadis lima taunan itu.

Tepat jam dua dini hari, ketika penghuni panti terlelap dalam peraduannya, Ketika puluhan atau bahkan ratusan jangkrik berdendang dengan riangnya. Ketika embun pagi mulai turun mencium dedaunan, mencium bumi, mencium atap-atap rumah. Ketika malaikat rahmat mencari hamba-hamba Tuhan yang bersimpuh pada-Nya. Ummu Salamah bangun, berwuduk dan seterusnya bermunajat, minta ampun pada Sang Maha pemberi ampunan dari segala dosa buat dirinya, suaminya dan para anak asuhnya. Minta diberikan petunjuk bagaimana memberikan jawaban pada si Ani kecil. Sekali-kali terdengar sesunggukan yang merobahkan tembok keangkuhan. Berulang kali lafaz-lafaz tasbih, tahmid, takbir mengalir dari mulut perempuan yang berhati emas itu.

Tuhan mabukkanlah aku

Dengan anggur cinta-Mu

Rantai kaki erat-erat

Dengan belenggu penghambaan

Kuraslah seluruh isi diriku

Kecuali cinta-Mu

Lalu cerai daku

Laparku yang maha pada-Mu

Telah membuatku

Berlimpah karunia2

Jangkrik terus saja berdendang di luar sana. Menyanyikan lagu yang tidak dipahami Ani, Lisa, Afirah, Ummu Salamah dan penghuni panti lainnya. Semoga besok subuh Ani tidak menanyakan apa arti dari lagu yang didendangkan jangkrik-jangkrik itu, desah Ummu Salamah. Dia sempatkan melihat anak asuhnya di kamar sebelah. Tangannya membenarkan selimut-selimut yang membaluti malaikat-malaikat kecilnya itu.

Pekanbaru 17 Februari 2008

Read More......

Rabu, 26 November 2008

Lirik lagu laskar pelangi

Lirik lagu laskar pelangi

mimpi adalah kunci
untuk kita menaklukkan dunia
telah hilang
tanpa lelah sampai engkau
meraihnya

laskar pelangi
takkan terikat waktu
bebaskan mimpimu di angkasa
raih bintang di jiwa

menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya…

cinta kepada hidup
memberikan senyuman abadi
walau ini kadang tak adil
tapi cinta lengkapi kita

laskar pelangi
takkan terikat waktu
jangan berhenti mewarnai
jutaan mimpi di bumi

menarilah dan terus tertawa
walau dunia takseindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya…

Read More......

Senin, 24 November 2008

Budaya Baca Penulis


Oleh: Wamdi*

“Kalau engkau sendiri malas membaca, bagaimana engkau menyuruh orang lain rakus membaca tulisanmu”(M. Fauzil Adhim)

Beberapa waktu lalu saya diminta sebagai MOT (Master Of Traning) pada Dauroh Marhalah (DM) I KAMMI komisariat UIN Suska, waktu itu saya sempat bertanya pada peserta siapa yang punya jadwal membaca buku setiap harinya. Alhamdulillah dari 140 lebih peserta hanya 3 orang yang mengacungkan tangan, akhirnya saya cuma berkomentar, “Oke! Sekarang hanya tiga orang yang punya agenda baca buku setiap harinya, tapi setelah selesai traning besok antum harus men-jadwalkannya, karena tak ada cerita kader KAMMI malas baca buku.”

Namun, terlepas dari itu semua ini adalah indikasi betapa rendahnya budaya baca kita, bahkan telah menjalari kaum intelektual. Dan belum ada kabarnya sebuah bangsa akan menjumpai peradabannya selama membaca tidak me-masyarakat. Karena ketika kita menceritakan bangsa-bangsa besar, sesungguhnya pada saat yang bersamaan kita sedang menyelami ide-ide besar, dan ide besar hanya akan terlahir dari rahim si melek baca. Mereka memang tidak bertatap muka dengan pendahulunya secara fisik, tetapi mereka telah melakukan komunikasi lewat karya, sehingga menyelinaplah pesa-pesan moyang mereka ke sanubari dan dengan itu mereka mempertimbangkan langkah di masa yang akan datang. Atau apa yang dikatakan Seno dalam bukunya ‘Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara’ masih pantas di sematkan pada kita? “Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan.”

Baiklah, kalau di ruang sana mereka masih menyedihkan rendahnya budaya baca penghuninya, maka sejatinya penulis telah lama hengkang dan tak berhasrat lagi meliriknya apalagi mendiami kembali. Bagi mereka membaca bukanlah pelepas tanya orang yang ingin mengetahui hobby-nya, karena membaca telah masuk pada deretan kebutuhan primer-nya yang ia hajatkan setiap hari, cuma bedanya kalau makan dan minum dilakoninya sejak bayi, maka membaca baru digelutinya setelah bercengkrama dengan berbagai bentuk huruf.

Dengan membacalah Najib Kailani berhasil menulis setting Jakarta lewat novelnya Gadis Jakarta walaupun dia belum pernah menjejakkan kakinya ke negeri ini. Atau Roidah novelis Sumbar yang menulis Mardigras, walaupun ia belum ke New Orleand, ia hanya mengenalinya lewat literature-literatur saja. Lewat membaca jugalah seorang anak bisa menceritakan pengalaman liburannya ke Afrika, di sana dia berkunjung ke desa-desa pedalaman, menyusuri hutan belantara, padahal dia hanya membaca novel warisan karya Himunyaga-Phiri, dia bercerita tentang Jepang lewat Daerah Salju karya Yatsunari Kawabata, bercerita Mesir dengan hanya membaca Lorong Midaq karya Naguib Mahfouz.

Maka, membaca adalah gizi bagi pertumbuhan para penulis, ketika terbetik ke-engganan membaca sesungguhnya dia mengimpikan busung lapar yang akan meggrogoti kreativitasnya. Kalau menulis kita ibaratkan kran yang mengeluarkan air, maka membaca adalah tangkinya. Kran-nya akan tetap mencucurkan air selama air di tangkinya masih ada, namun sewaktu air di tangki menipis dan kosong, maka yang di temui hanya tetesan yang berujung kenihilan.

*Ketua FLP wilayah Riau

Read More......

Senin, 20 Oktober 2008

Mari Menuju Kemenangan



Wamdi*
“Kemenangan hakiki adalah kemenangan yang tak berujung”

Tahun adalah kumpulan bulan, bulan adalah persatuan minggu, minggu adalah pertemuan hari, hari adalah perjumpaan jam, jam adalah perpaduan menit, menit adalah pergumulan detik, sedangkan detik adalah perkawinan nafas। Tak usahlah ditanya kenapa begitu, karena waktu tak-kan berhenti dengan pertanyaan yang kita suguhkan. Kalau mau bertanya tanyalah, adakah perkawinan nafas kita melahirkan desahan zikir? Adakah pergumulan detik menjadi menit, perpaduan menit menjadi jam, perjumpaan jam menjadi hari, pertemuan hari menjadi minggu, persatuan minggu menjadi bulan, kumpulan bulan menjelmalah tahun kita semakin baik? Semakin santun? Semakin ‘arif? Kalau iya, maka tingkatkanlah atau minimal bersekukuhlah kita di situ, tapi kalau kita menggeleng, maka nafas kita telah mandul, pelita kita telah padam sementara malam masih pekat, tongkat kita telah patah sedangkan perjalanan masih jauh, mendaki menurun, onak dan duri bertebaran di sana sini. Bisa-bisa kita tersesat di hutan rimba yang dirajai si-singa dan jadi kita cuci mulutnya, atau terdampar di pulau setan yang tak ada manusianya dan kita pun akan diperlakukan tanpa manusiawi, awalnya kita memang kesal, namun lama-kelamaan kita menikmatinya, karena kita adalah setan dan setan itulah kita, nauzubillah…

Sekarang, kita berada di bulan Ramadhan, bulan yang penuh rahmat-Nya, pintu-pintu surga lagi dibuka lebar-lebar, dan pintu-pintu neraka ditutup serapat-rapatnya, sedangkan para setan diterali. Sangat besar peluang kita mendekati-Nya, bukankah mentakutinya dengan mendekatinya?
Baliklah kembali sejarah dan temukan keajaiban-keajaiban Ramadhan padanya. Kaum muslimin meraih kemenangan perang Badar pada bulan Ramadhan. Muzafar Quthus menakhlukkan pasukan Tartar dalam perang ‘Ain Jalut pada bulan Ramadhan. Shalahuddin Al-Ayyubi mengusir pasukan salib dari tanah Palestina dalam perang Hithin pada bulan Ramadhan, dan Muhammad Al-Fatih Murad melakukan puasa berturut-turut tiga hari sebelum merebut Konstantinopel.
Ramadhan dengan segala keistimewaannya telah Allah persembahkan pada kita, tinggal kita bertanya apa yang ita persembahkan pada-Nya? Puasa! Adakah puasa kita seperti tuntunannya? Tilawah! berapa juz perhari? Silahkan masing-masing kita mengajukan pertanyaan itu pada diri-diri kita. Terahir tanyakan padanya, adakah kau mau menang seperti tentara perang Badar? Seperti Muzafar, Shalahddin Al-Ayyubi, atau Muhammad Al-Fatih? Kalau ia mengiyakan, maka bergulatlah dengan nafsumu, karena kemenangan di alam nyata adalah buah kemenangan di alam jiwa, setelah itu mari kita songsong kemenangan.
*Dirjen redaksional Dema UIN Suska 2008-2009

Read More......

Senin, 13 Oktober 2008

Mari Lupakan Bakat


Oleh: Wamdi*

Seringkali saya mengajak teman untuk bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) untuk sama-sama berkarya, namun tidak jarang juga saya dapati jawabannya, “Ah, saya tidak berbakat menulis,” sebuah jawaban yang saya kira meng-aborsi-kan kreativitas sebelum ia terlahir. Persoalannya bukan pada berbakat atau tidak, tapi lebih jauh dari itu adalah mau atau tidak, Bukankah moyang kita pernah berpesan, “Kemauan beribu jalan, ke-engganan beribu alasan.” Orang yang mau, matanya nyelang, pikirannya lincah, tangannya cekatan, sedangkan si-enggan akan menyusun ragam alasan, sehingga matanya sayu, pikirannya buntu dan tangannya pun kaku.
Dalam dunia tulis menulis, karang mengarang, bakat tak lebih dari 5% saja, sedangkan yang 95% adalah proses belajar. Mungkin Anda tidak percaya! Namun lihatlah dan sebutlah nama-nama penulis handal; Arswendo Atmowiloto, Goenawan Muhammad, William Chang, Habiburrahman El-Syirazi, Helvi Tiana Rosa, Bondar Winarno, Moh. Sobary, Asma Nadia, Parakitri Tahi Simbolon, Andreas Harefa, atau Wimar Witoular. Mereka tidak dititisi darah menulis dari orang tuanya, namun mereka sendirilah yang menekuninya, berlatih, berlatih, dan berlatih. Memetik sendiri ilmu menulis usai membaca karya tulis orang lain.
Tapi, bagaimana pun menulis membutuhkan kesabaran yang berlipat ganda, kesabaran menjalani proses. Dan justu di sinilah kurangnya daya tahan para penulis pemula. Seorang motivator menulis dari Amerika, Natalie mengatakan, “Pertama menulis janganlah kira berpikir kualitas, namun kuantitas.” Tulisan berkualitas penting, tapi terlepas dari itu adalah telah berapa banyak kita menulis. Sehingga Natalie mengisahkan bagaimana dia menulis, ketika datang kemalasan, justru dia menulis, “Saya sedang malas menulis,” dan itu dia tulis sebanyak-banyaknya. Lihat lagi bagaimana usaha Joni Ariadinata, seorang tukang ojek belajar menulis. Sepulang mencari tumpangan di waktu maghrib, dia mandi dan kemudian membaca sampai larut malam, kemudian sekitar jam tiga bangun kembali dan menulis sampai pagi.
Mungkin anda akan bertanya, bagaimana dengan Andrea Hirata sang penulis Laskar Pelangi, bukankah seumur hidupnya belum pernah menulis sepotong cerpen pun apalagi novel, tiba-tiba menulis dan bukunya best seller? Betul sekali, tapi juga jangan melupakan bagaimana Andrea Hirata menyimpan potongan-potongan perjalanan hidupnya dalam diary. Dan hasil penelitian menyatakan bahwa 75% cerpen/novel yang ditulis anak manusia merupakan pengalaman hidupnya.
Sekarang sudah saatnya si-bakat kita kuburkan dalam-dalam dan kalau pun dia bangkit kembali, biarlah dia menemani perjalanan kita dan menyuntikkan semangat optimisme, sehingga hidup kita yang luar biasa ini tidak kita sandarkan padanya. Mari kita tapaki jejak langkah para ulama yang menjadikan tulisan sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Prancis Bacon suatu ketika mengatakan, “Manusia boleh mati, tapi ia bisa memperpanjang umurnya jika ia meninggalkan sesuatu yang “abadi” yaitu sebuah karya. Karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan kearifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil karya-karya yang lain, semisal monumen istana, candi, atau pun sebuah kota.”

*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Riau

Read More......