Minggu, 07 Desember 2008

Malaikat-malaikat Kecil


Oleh: Wamdi

uang logam itu telah menyesakkan isi celengan Ani. Dua bulan terakhir ini sisa uang jajan yang dikasih Ummu Salamah – pengasuh panti asuhan Darun Niswah – memang lebih banyak dimasukkannya ke dalam celengan yang berbentuk ayam betina itu. Mulai uang logam seribu rupiah sampai yang terkecil. Seratus rupiah. Untung saja asramanya itu tidak dihuni oleh anak-anak yang suka mengambil barang sesama mereka. Ummu Salamah selalu memberi wejangan, supaya dia dan teman-temannya tidak berbuat sembarangan dengan milik orang lain apalagi sampai mengambilnya.

Ani merencanakan celengannya itu dibuka pas hari ulang tahunnya nanti, tepatnya tanggal lima belas November. Sekarang bulan Agustus, berarti masih ada waktu tiga bulan lagi. Tapi, ayam betinanya itu sudah kekenyangan, kalau dia hidup mungkin jalannya sudah terseok-seok, seperti ular yang menelan kambing tuk Badrun seminggu yang lewat. Gadis kecil itu merencanakan lagi membeli celengan baru, kalau ada yang berbentuk ayam jantan sehingga akan tampak sepasang.

Ummu Salamah yang sembunyi-sembunyi ternyata memperhatikan apa yang dilakukan Ani. Sepulang sekolah anak-anak panti itu berhamburan ke dapur, tanpa mengganti pakaian seragam sekolah mereka terlebih dahulu, tapi, Ani langsung ke kamar dan merogoh kantong tas-nya, mengeluarkan kepingan-kepingan logam itu, sejurus kemudian memasukkannya kedalam celengan yang terletak di atas lemarinya.

Begitupun hari ini. Ummu Salamah melihat Ani tersenyum-senyum ketika tangan mungilnya menyuapkan logam-logam itu ke dalam mulut ayam betinanya. Wanita itu pun tersenyum. Baru kemaren rasanya Ani yang waktu itu masih bayi diserahkan ke panti Darun Niswah ini oleh pihak rumah sakit Mustasyfa. Waktu itu pihak rumah sakit menceritakan kejadian yang menimpa keluarga Ani. Ayahnya yang bekerja sebagai kuli bangunan menjadi korban gempa bersama lima ratus lebih korban lainnya. Ketika ia sedang menyusun batu bata di bangunan rumah salah seorang penduduk. Beruntung ibunya waktu itu sudah berada di rumah sakit dua hari sebelum kejadian yang mengganaskan itu. Sehingga rumah bersalin tempat ibunya dirawat tidak kena getaran yang begitu kuat, walaupun banyak pasien yang dilarikan keluar ruangan. Namun, mujur tak dapat dipinta malang tak dapat dielakkan. Ketika dia baru hadir sekitar lima menit di alam fana ini, ibunya pun diboyong malaikat maut ke alam Barzakh. Ah, kalau mengingat itu mata Ummu Salamah tak sanggup menahan tangis. Iba.

Kini Ani atau lebih lengkapnya Annisa sudah besar dalam penglihatannya. Ani sudah bisa menyisihkan uang sakunya dan ditabung. Kalau bicara sangat lancar walaupun sampai sekarang Ani masih harus berjuang mengucapkan huruf "R" yang belum pas. Tapi setidaknya Ani bukan Ani yang dulu lagi, yang suka membangunkannya ditengah malam dan merengek minta dibuatkan susu. Kalau Ani bertanya siapa ibu dan ayahnya Ummu Salamah tak pernah menyembunyikan. Bahkan tiga hari yang lalu Ani minta padanya menceritakan kembali ayah dan ibunya. Awalnya dulu Ani memang menangis mendengarkannya, tapi belakangan ini dia lebih banyak mendoakan ayah dan ibunya itu. Apalagi Ummu Salamah selalu mengatakan sekarang ini ialah ibunya dan suaminya sebagai ayah dari anak-anak penghuni panti Darun Niswah ini. Walaupun suami perempuan itu hanya pulang sekali seminggu, karena bekerja di luar kota.

Berlahan-lahan dia dekati anak itu.

"Eh, Ummi!" ucap Ani tersentak ketika tangan Ummu Salamah menyentuh pundaknya.

"Ani belum makan, sayang?" tanyanya. Tangannya sudah merangkul leher Ani.

"Belum, Mi! bental lagi," tangannya masih memasukkan sekeping lagi. Seratus rupiah.

"Berapa Ani isi celengannya hari ini?"

"Tujuh latus, Mi!" ucapnya. Wajahnya tampak ceria.

"Lo, tadi di sekolah Ani belanja apa yang delapan ratusnya lagi?" Ummu salamah setiap paginya memberikan uang jajan masing-masing anak-anaknya itu seribu lima ratus.

"Lima latus tadi beli kue dan tiga latusnya Ani masukkan kecelengan mushala. Kata Bu Aisyah di sekolah tadi, kalau kita lajin shadaqah bisa Bantu abi dan umi yang telah meninggal." Ucapan itu seperti menyihir Ummu Salamah. Kata-kata itu meluncur tanpa beban, tapi mengandung makna yang sangat dalam. Mulia sekali hatimu, Nak. Tak sia-sia dia mendidik mereka selama ini. Walaupun mereka bukan anak kandungnya, namun Allah telah memberikan anak-anak yang mungkin jauh lebih baik dari yang dipintanya selama ini. Dia masih ingat si Musdalifah yang waktu itu masih kelas enam SD sudah hafal Quran tiga belas juz. Sekarang sudah melanjutkan sekolahnya ke pesantren Darul Quran. Sebulan lalu Wita mendapatkan penghargaan sebagai pengarang terbaik cerpen anak yang diselenggarakan Riau Pos. Dia lagi makan siang di belakang sana bersama teman-temannya. Dan saat ini dia merasakan getaran yang cukup hebat mendengar kata-kata Ani. "Kata Bu Aisyah di sekolah tadi, kalu kita lajin sadaqah bisa Bantu abi dan umi yang sudah meninggal." Anak yang baru berumur lima tahun. Baru sekolah taman kanak-kanak, tepatnya taman-kanak-kanak Raudotul Atfal. Dari mana dia tahu kasih sayang abi dan uminya padahal dia tidak pernah mengenalinya.

"Subhanallah, subhanallah," berulang kali lafaz tasbih itu meluncur dari seorang ibu yang telah mengasuhnya selama ini. Maha suci Allah yang telah berbuat sekehendaknya. Air matanya pun berurai.

"Mi! Umi nangis, ya?" Tanya Ani, ketika air mata ibu asuhnya itu menimpa tengkuknya.

"Tidak sayang, umi cuma senang mendengar cerita kamu," tangannya mengusap matanya yang basah.

"Kalau Ani senang Ani senyum, juga ketawa. Kalau Ani sedih Ani menangis. Kalau Ani sakit Ani merintih. Tapi, Umi senang, kok nangis? tanyanya lagi. Ah, orang tua macam-macam aja, pikirnya.

"Ya, sudah, sekarang Ani ganti baju dulu dan makan bersama teman-teman dibelakang sana, ya!" Ummi Salamah melepaskan pelukannya. Tak perlu rasanya Ani sekarang tahu kenapa dia begitu. Ia hanyalah satu diantara sekian banyak orang dewasa yang munafik pada diri sendiri. Yang matanya menangis padahal hatinya senang. Yang tersenyum padahal hatinya merintih. Setelah Ani berangkat ke dapur wanita itu pun bergegas ke depan.

Isya baru saja berlalu. Asrama terdengar riuh. Beberapa orang tampak membentuk lingkaran, mereka mengaji sama kak Fina yang sekarang sudah kelas tiga SMP. Mereka saling bergantian membaca buku iqrak dan yang lain mendengarkannya, sekali-kali ada yang menunjuk tangan dan bertanya dari bacaan yang tidak mereka pahami. Sedangkan di tempat shalat sana tampak Afirah, Kalsum, Tari, Ima dan Tesya lagi menghafal ayat-ayat Al-Quran. Mata mereka kadang-kadang dipejamkan, sejurus kemudian tampak dibuka lagi. Begitulah selalu yang mereka lakukan, hingga ayat-ayat Tuhan itu terpasung dalam otak mereka. Sementara di lorong menuju ke dapur terlihat Ani dan empat orang anak lainnya duduk dengan berbaris. Lima gadis cilik itu mendengar Ummu Salamah bercerita, di temani sebuah laptop. Ani duduk di depan sekali.

"Jadi, setelah Pinguin mendengarkan cerita tentang Buaya itu dari Kelinci. Pinguinnya tidak takut lagi sama buaya, karena ternyata tidak semua Buaya itu suka berbuat jahat. Kita lihat contohnya tadi bagaimana Buaya membantu anak-anak Penyu untuk berenang di laut," wanita paruh baya itu sedikit menerangkan bagian film yang mereka tonton itu.

Ummu Salamah kembali menyalakan laptopnya. Ani dan teman-teman semakin penasaran dengan kelanjutan cerita dari film "Petualangan Pinguin dan Kelinci." Mata bulat mereka terfokus pada laptop dipangkuan pengasuhnya itu.

Lima belas menit kemudian, setelah pemutaran film berakhir, Ani mengacungkan tangan. Bertanya. Ummu Salamah mempersilakannya.

"Umi, Ani mau Tanya, tapi tidak mengenai film ini. Boleh nggak, Mi?"

"Ya, tak apa-apa, sayang. Kalian boleh tanya masalah apa saja."

"Tadi pagi di sekolah Ibu gulu bilang kalau kita tidak belagama Islam, maka apa yang kita belikan sama olang lain nggak ada nilainya. Waktu Ani mau Tanya, Mi! Eee, belnya malah bunyi. Ani tak jadi beltanya. Waktu istilahat Ani pelgi main buayan sama teman-teman. Setelah itu Ani masuk pelut gajah, buaya dan juga zelafah dan..."

"Ya, Aninya mau Tanya apa, sayang," Ummu Salamah memotong cerita anak gadis itu, yang sudah meluas ke sana ke mari. Sementara temannya yang lain terbahak-bahak mendengar Ani mengatakan, "Pelut gajah dan zelapah," ketika menceritakan patung gajah, buaya dan zerafah yang terletak di depan kelas mereka.

"Eh, iya Ani hampil lupa. Yang mau Ani tanya. Ani punya teman, di sebelah lokal Ani! Namanya Malia. Dia suka sekali membagi-bagi kue di sekolah. Tapi.."

"Tapi, kenapa sayang," potong Ummu Salamah.

"Tapi dia beda agama dengan Ani, Mi! dia bilang agamanya Kelis, Kelis.."

"Keristen, maksud Ani."

"Betul, Mi! agamanya sepelti yang umi bilang itu," Ani belum juga bisa menyebutnya.

"Jadi, kalau beda agama dengan Ani. Malia nggak dapat nilai dong Mi! padahal dia satu sekolah dengan Ani," Ani tampak kesal. Sementara empat temannya, tampak asik mewarnai beragam gambar binatang yang tubuhnya masih berbentuk garis yang terpotong-potong.

Memang beberapa tahun belakangan ini Ummu Salamah mendengar, kalau TK Raudhotul Atfal sudah menerima anak-anak non muslim. Jadi, tentu di sana anak-anak muslim sudah berbaur dengan teman-temannya yang berbeda agama. Salah satunya Maria, seperti yang diceritakan Ani. Tapi, Ummu Salamah bingung, kenapalah gurunya Ani membicarakan sesuatu yang membingungkan anak-anak. Dan sekarang juga membingungkannya menjawab pertanyaan gadis kecil yang duduk di depannya. Bingung Bagaimana menjelaskannya sehingga Ani bisa mengerti.

"Ani, nilai yang dibilang Bu Aisyah itu, bukan seperti nilai Ani yang diberikannya waktu menggambar, tapi.."

"Jadi, nilai bagaimana lagi, Mi?" desak Ani penasaran. "Selama ini kalau gambal yang Ani buat bagus, Bu Aisyah ngasih nilai seratul dan Malia seling juga dapat selatus kok, Mi! dari gulunya Bu Maimunah. Bahkan ketika tanding nyanyi, Malia lebih bagus sualanya dari Ani," akunya. Ani memberontak.

Ummu Salamah makin sulit rasanya menjelaskan. Ani orangnya memang suka bertanya. Bahkan kalau di kelas Anilah yang paling doyan bertanya. Dia kembali mencari alasan lain yang lebih mudah dipahami gadis kecilnya itu.

"Ani, nilai yang dibilang Bu Aisah tadi itu artinya pahala."

"Pahala!!!"Ani makin bingung. Ia mengerutkan keningnya sehingga ujung-ujung alisnya bertemu. Alisnya tebal seperti elang yang membentangkan sayap.

"Sekarang begini," Ummu Salamah cepat mencari solusi lain. Jangan sampai terlalu lama Ani dalam kebingungannya. Ya Allah berikan kemudahan pada hamba menerangkan kebaikan pada malaikat kecilmu ini. Rintihnya.

"Kalau nilai itu dari guru, sedangkan pahala dari Tuhan. Nah, Tuhannya Ani-kan beda dengan Tuhannya Maria." Terangnya. Agak melegakan melihat kerutan kening Ani makin lenyap.

"Coba, Ani kalau shalat berapa kali tiap hari?"

"Lima kali. Coba Ani itung, ya! Subuh dua lakaat, Zuhul empat lakaat, Asal empat lakaat, Maghlib tiga lakaat dan Isya empat lakaat. Jadi, dua tambah empat! Enam, tambah empat sepuluh, tambah tiga tiga belas, tambah empat tujuh belas. Semuanya tujuh belas lakaat, Mi!"jawabnya senang.

"Kalau Maria kapan shalatnya?"

"Dia bilang hali Minggu, Mi! dan itu bukan shalat namanya, tapi sembayang. Di geleja lagi." Ummu Salamah membenarkan apa yang dikatakan Ani.

"Nah, jadi Tuhannya Ani ngasih pahala sama Ani dan Tuhannya Maria ngasih pahala juga pada Maria."

"Kalau begitu Tuhannya Malia kikil dong, Mi! masak Malia cuma dapat pahala sekali seminggu, sedangkan Tuhan Ani ngasih pahala tiap hali lima kali. Tujuh belas lagi ya, Mi!"

"Iya, tapi.."

"Ah, besok Ani kasih tahulah sama Malia, Tuhannya ganti aja sama Tuhan Ani."

"Jangan sayang! Nanti Ibunya marah."

"Lo, kok malah sih, Mi! kan bial Malia dapat banyak pahala."

"Diharapkan pada adik-adik semua untuk berwuduk dan bersiap-siap tidur, karena jam sudah menunjukkan pukul dua puluh dua" terdengar suara kak Wita menyampaikan pengunguman lewat microfon. Itu artinya tidak boleh ada kegiatan lain, semua sudah harus istirahat. Tidur.

Begitu pun dengan Ani. Ummu Salamah mengajaknya beranjak menuju kamar yang terletak di samping tempat shalat. Empat orang temannya tadi lebih dahulu sudah berlarian sebelum kak Wita menyampaikan pengunguman itu. Pertanyaan Ani? Ya pertanyaan Ani akan dijawab besok subuh. Tapi, setidaknya Ummu Salamah sedikit lega, ada kesempatan baginya mencari jawaban dari pertanyaan gadis lima taunan itu.

Tepat jam dua dini hari, ketika penghuni panti terlelap dalam peraduannya, Ketika puluhan atau bahkan ratusan jangkrik berdendang dengan riangnya. Ketika embun pagi mulai turun mencium dedaunan, mencium bumi, mencium atap-atap rumah. Ketika malaikat rahmat mencari hamba-hamba Tuhan yang bersimpuh pada-Nya. Ummu Salamah bangun, berwuduk dan seterusnya bermunajat, minta ampun pada Sang Maha pemberi ampunan dari segala dosa buat dirinya, suaminya dan para anak asuhnya. Minta diberikan petunjuk bagaimana memberikan jawaban pada si Ani kecil. Sekali-kali terdengar sesunggukan yang merobahkan tembok keangkuhan. Berulang kali lafaz-lafaz tasbih, tahmid, takbir mengalir dari mulut perempuan yang berhati emas itu.

Tuhan mabukkanlah aku

Dengan anggur cinta-Mu

Rantai kaki erat-erat

Dengan belenggu penghambaan

Kuraslah seluruh isi diriku

Kecuali cinta-Mu

Lalu cerai daku

Laparku yang maha pada-Mu

Telah membuatku

Berlimpah karunia2

Jangkrik terus saja berdendang di luar sana. Menyanyikan lagu yang tidak dipahami Ani, Lisa, Afirah, Ummu Salamah dan penghuni panti lainnya. Semoga besok subuh Ani tidak menanyakan apa arti dari lagu yang didendangkan jangkrik-jangkrik itu, desah Ummu Salamah. Dia sempatkan melihat anak asuhnya di kamar sebelah. Tangannya membenarkan selimut-selimut yang membaluti malaikat-malaikat kecilnya itu.

Pekanbaru 17 Februari 2008

Read More......