Senin, 24 November 2008

Budaya Baca Penulis


Oleh: Wamdi*

“Kalau engkau sendiri malas membaca, bagaimana engkau menyuruh orang lain rakus membaca tulisanmu”(M. Fauzil Adhim)

Beberapa waktu lalu saya diminta sebagai MOT (Master Of Traning) pada Dauroh Marhalah (DM) I KAMMI komisariat UIN Suska, waktu itu saya sempat bertanya pada peserta siapa yang punya jadwal membaca buku setiap harinya. Alhamdulillah dari 140 lebih peserta hanya 3 orang yang mengacungkan tangan, akhirnya saya cuma berkomentar, “Oke! Sekarang hanya tiga orang yang punya agenda baca buku setiap harinya, tapi setelah selesai traning besok antum harus men-jadwalkannya, karena tak ada cerita kader KAMMI malas baca buku.”

Namun, terlepas dari itu semua ini adalah indikasi betapa rendahnya budaya baca kita, bahkan telah menjalari kaum intelektual. Dan belum ada kabarnya sebuah bangsa akan menjumpai peradabannya selama membaca tidak me-masyarakat. Karena ketika kita menceritakan bangsa-bangsa besar, sesungguhnya pada saat yang bersamaan kita sedang menyelami ide-ide besar, dan ide besar hanya akan terlahir dari rahim si melek baca. Mereka memang tidak bertatap muka dengan pendahulunya secara fisik, tetapi mereka telah melakukan komunikasi lewat karya, sehingga menyelinaplah pesa-pesan moyang mereka ke sanubari dan dengan itu mereka mempertimbangkan langkah di masa yang akan datang. Atau apa yang dikatakan Seno dalam bukunya ‘Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara’ masih pantas di sematkan pada kita? “Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan.”

Baiklah, kalau di ruang sana mereka masih menyedihkan rendahnya budaya baca penghuninya, maka sejatinya penulis telah lama hengkang dan tak berhasrat lagi meliriknya apalagi mendiami kembali. Bagi mereka membaca bukanlah pelepas tanya orang yang ingin mengetahui hobby-nya, karena membaca telah masuk pada deretan kebutuhan primer-nya yang ia hajatkan setiap hari, cuma bedanya kalau makan dan minum dilakoninya sejak bayi, maka membaca baru digelutinya setelah bercengkrama dengan berbagai bentuk huruf.

Dengan membacalah Najib Kailani berhasil menulis setting Jakarta lewat novelnya Gadis Jakarta walaupun dia belum pernah menjejakkan kakinya ke negeri ini. Atau Roidah novelis Sumbar yang menulis Mardigras, walaupun ia belum ke New Orleand, ia hanya mengenalinya lewat literature-literatur saja. Lewat membaca jugalah seorang anak bisa menceritakan pengalaman liburannya ke Afrika, di sana dia berkunjung ke desa-desa pedalaman, menyusuri hutan belantara, padahal dia hanya membaca novel warisan karya Himunyaga-Phiri, dia bercerita tentang Jepang lewat Daerah Salju karya Yatsunari Kawabata, bercerita Mesir dengan hanya membaca Lorong Midaq karya Naguib Mahfouz.

Maka, membaca adalah gizi bagi pertumbuhan para penulis, ketika terbetik ke-engganan membaca sesungguhnya dia mengimpikan busung lapar yang akan meggrogoti kreativitasnya. Kalau menulis kita ibaratkan kran yang mengeluarkan air, maka membaca adalah tangkinya. Kran-nya akan tetap mencucurkan air selama air di tangkinya masih ada, namun sewaktu air di tangki menipis dan kosong, maka yang di temui hanya tetesan yang berujung kenihilan.

*Ketua FLP wilayah Riau

Read More......