Minggu, 12 Oktober 2008

Lawa; Biarkan Suamimu Musafir


Lawa; Biarkan Suamimu Musafir

Oleh: Wamdi*

Beberapa waktu lalu Saidul Tombang mengasihkan beberapa buah novel Lawanya kepada saya, rencanya novel itu akan dibedah bersama teman-teman Forum Lingkar Pena। Terus terang saya senang menerimanya, disamping gratis juga merupakan indikator bahwa semakin hari semakin bertambah deretan novelis di tanah melayu ini. Terima kasih, Cu! Semoga novel ini merupakan kail yang akan memancing novel Ocu dimasa yang akan datang.

.

Setelah saya membacanya, saya juga mempunyai beberapa catatan, yang akan coba saya dedahkan disini.

Keluaga Markoni yang taat

Seperti yang diceritakan, Markoni lahir di Mahat, sebuah kampung yang subur dengan penghidupan masyarakatnya dari bertani serta kondisi alam yang dikelilingi pengunungan. Serta kampung yang dipagari dengan adat istiadat yang turun temurun diwariskan pada anak cucu mereka. Ditambah lagi ajaran agama yang begitu kental merasuki setiap individu masyarakatnya. Sehingga klop-lah apa yang mereka kumandangkan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.”

Dengan kondisi sosio-kultural seperti itu, maka layaklah kalau Markoni ketika belum genap berumur enam tahun dia telah pandai mengaji dan bahkan juara tilawah tingkat kampung ketika masih delapan tahun. Walaupun ayahnya telah meninggal karena serangan demam malaria ketika ia mesih menyusu pada bundanya, namun itu sama sekali tak-lah mengurangi kecepatannya dalam memahami agama lebih dini, dan memang di sisi lain sosok ibunya pun yang hebat mengaji telah menurun pada dirinya.

Strata sosial Markoni yang menengah keatas selaku orang terpandang, tak juga berhasil menghambat dirinya menjadi anak yang berlaku baik, sopan santun, menjaga hubungan kekeluargaan dan mempertenggangkan kehendak orang lain. Sungguh lain benar anak dulu dan sekarang dan sungguh sempurnalah apa yang diperoleh Markoni dalam kecamata penduduk kamung kala itu. Kenapa tidak? Kampungnya asri, pandai mengaji, serta harta banyak yang diwarisi. Bukankah waktu itu sedang pergolakan penjajahan tentara Belanda? Betul! Namun sekali lagi, ragam tantangan itu tak lagi mampu menaklukkan kegersikannya.

Kita juga akan mendapati dalam Lawanya Saidul Tombang ini bagaimana darah kesatria mengalir pada Markoni, karena ayahnya sendiri merupakan pesilat yang handal. Sehingga digambarkan tidak ada preman pasar yang berani minta uang padanya. Adakah memang Markoni seorang yang berjiwa satria? Seorang yang taat beragama, karena didikan bundanya selama ini? Entahlah, tapi kita coba nanti menelusurinya.

Rumah tangga Markoni dan Jailawa

Tersebutlah bahwa Markoni melarikan diri kamp tawanan Belanda di Solo menuju Poro, sebuah kawasan paling timur kerajaan Minangkabau. Di sanalah dia mengurai janji tunangannya Zahra dan menjalin rumah tangga dengan seorang janda kembang bernama Jailawa.

Menurut saya, dari sinilah berawalnya malapetaka yang menyeret Markoni pada kebimbangan. Rumah tangga yang mereka bina pada tahun-tahun pertama memang menuai kebahagiaan, namun ternyata cinta Markoni tidak cukup dipertahankan dengan hubungan biologis yang kapan pun bisa mereka lakukan. Keretakan demi keratakan mulai menggrogoti pohon cinta mereka, hingga ahirnya si akar tak kuasa lagi menahanya.

Sekarang terjawab sudah pertanyaan kita, ternyata Markoni bukan orang yang berjiwa satria dan juga tak lagi taat beragama. Kalau memang dia berjiwa besar, seharusnya Markoni tak mengukur cinta dengan kehadiran si buah hati, karena cinta yang hakiki itu sendiri tidaklah berharap. Lihat bagaimana ungkapan cinta Rabiatul A’dawiyah pada Tuhannya, “Tuhan kalau aku mencintaiMu karena berharap pada surgaMu, maka jangan pernah Kau pertemukan aku dengannya, dan kalau aku mencintaiMu karena takut nerakaMu, maka jerumuskan aku ke dalamnya, tapi kalau aku mencintaiMu, karena cintaku padaMu, maka terimalah aku.” Sekali lagi lihatlah bagaimana cinta tak pernah minta balasan. Kalau Markoni kecewa hanya tak hadirnya si buah hati dan dengan dalih itu dia tinggal Jailawa, maka kembali saya katakan Markoni tidak berjiwa besar. Tak ada jiwa ke-satriaan ayahnya yang dia warisi. Atau justru jiwa para kolonial-lah yang lebih dominan dalam dirinya, karena didikan penjajah itu selama di kamp.

Kalau pun di beberapa bagian hidup Markoni kita jumpai dia tata beragama, seperti dalam perjalan pulangnya – atau tepatnya seperti kata Saidul Tombang melarikan diri – ke Mahat Markoni melakukan shalat, bahkan shalat yang dalam agama pun boleh dijamakkan, tetapi Markoni tetap ingin melakukannya pada tiap masuk waktu. Maka itu hanya upaya pengarang saja untuk menemukan kembali masa kecil si Markoni. Atau mungkin Saidul yang ingin mengingat masa lalunya di fakultas syariah? Ah, tak taulah, tapi bagi saya kalau memang musafirnya Markoni akan bisa bisa menjadikan dia berjiwa besar lagi dan lebih insyaf dengan mentaati perintah Tuhan, maka andaikata saya bertemu Lawa, maka akan kusampaikan “Lawa! Biarkan suamimu musafir.”

*Wamdi, ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Riau.


Read More......