“Yang lain mana, Mbak?”
“Belum nampak.”
“Mbak! Ustadz minta surat itu secepatnya. Mbak Intan bisa ketikkan?”
“Kapan ane serahkan?”
“Besok pagi.”
“Di mana?”
“Di Arfaunnas.”
“Insya Allah.”
“Atau Mbak antarkan ke komsat aja, bisa!”
“O, iyalah. Insya Allah bisa.”
Setiap orang yang berjumpa/ berteman atau berorganisasi dengan Ruwaida Muthia atau akrabnya Intan Amlan tentu punya kenangan yang beragam bersamanya. Apalagi orang tua dan sanak saudaranya yang tentunya lebih banyak berinteraksi dengannya. Saya saja yang baru setahun lalu – tahun 2008 ketika muswil FLP di rumah teh Dina – mengenalnya dan kemudia sama-sama sebagai pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah riau, telah menyimpan dokumentasi kebaikannya, apalagi mereka yang telah mengenalnya lebih dahulu dari saya.
Percakapan pada tulisan ini adalah sebagian interaksi saya dengan beliau. Di FLP beliau sangat aktif, baik hadir dalam agenda syuro maupun masukan-masukan lewat telepon/sms, termasuk beberapa waktu lalu beliau sempat bilang, “Pak, ane kira tempat talk show di BPA itu nggak muat, karena biasanya peserta itu membludak pada hari H-nya.”Tidak jarang juga pada syuro yang kita agendakan ia telah hadir duluan on-time seperti yang saya temui di puswil, sementara yang lain masih belum terlihat. Namun, ia telah pergi, ya Allah telah memanggilnya sebelum ia sempat bertemu mbak Asma Nadia seperti yang ia impikan sebelumnya. Laksana Amar bin Yasir, Mus’ab bin ’Umair, Hamzah bin Abdul Muthallib, Mu’az bin Jabal dan para syuhada lainnya yang terkubur di Baqi’ sebelum sempat menyaksikan kemenangan Islam. Ia memang tak berjumpa Asma Nadia, ia tak sempat menyaksikan meriahnya acara, namun ia berjumpa dengan pemilik jagad raya Allah Swt, laiknya para syuhada yang disambut para bidadari yang bermata jeli. Semoga.
Dalam hal kepenulisan Intan telah menunjukkan eksistensinya, ia sangat mengerti makna kehidupan ini, karena hidup sesungguhnya tidak bisa dibatasi oleh usia. Boleh jadi ada orang yang berakhir hidupnya bersama tamatnya usia, atau bahkan tak dihitung hidup walaupun usia masih tersisa. Namun Intan telah keluar dari ruang tersebut, ia telah bekerja buat peradaban. Seperti dikatakan Francis Bacon, ”Manusia boleh mati, tapi ia bisa memperpanjang umurnya, jika ia meninggalkan sesuatu yang ’abadi’ yaitu sebuah karya. Karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan ke’arifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil-hasil karya yang lain, semisal monumen istana, candi ataupun sebuah kota.” Terbukti dua naskah buku non fiksinya sekarang lagi digarap penerbit. Begitupun dalam naskah antologi cerita pendek FLP Riau. Beliau sebagai Humas FLP cukup concern pada amanahnya, walaupun terkadang perlu saya ingatkan untuk selalu me-update tulisan-tulisan di blog yang dikelolanya. Makanya kita di FLP betul-betul kehilangan anggota sekaligus pengurus terbaik seperti beliau.
Semoga catatan ini singkat merupakan bagian dari upaya kita untuk mengakui bahwa ia pernah ada di gelanggang kehidupan ini. Kalau dulu ketika ia lahir disambut dengan kegembiraan, maka dihari kembali kepada-Nya tidak sedikit yang berderai air mata sampai saat ia diantarkan ke tempat peristirahatan terahir.
Buat teman-teman FLP kembali kita rapatkan shaf. Banyak hal yang harus kita perbaiki ke depannya, termasuk peningkatan kualitas penulisan dan manajemen organisasi. Ukhtina Intan telah menunaikan amanahnya dengan baik, dan bagi kita kembali menyelesaikan tugas-tugas yang masih banyak harus kita sempurnakan.
Selamat jalan mbak Intan…semoga kita bertemu di ‘kafe langit’ dan ‘menulis’ buat selamanya.