“Aslm innalillahi wa inna ilaihi raji’un, telah berpulang kerahmatullah Ruwaida Mutia krn asma, mari kita doakan bersama saudari qt.
Inilah sms yang masuk ke hp saya ketika baru sekitar lima menit sampai ke Bangkinang dalam agenda dakwah. Terus terang saya terkejut, karena baru dua hari yang lalu saya dan teman-teman Forum Lingkar Pena (FLP) termasuk dia rapat di galeri Ibrahim Sattah membicarakan agenda talk show nasional, dan dia bendahara dalam kepanitiaan tersebut. Mendapat kabar tersebut saya langsung minta diantar pada akh Firdaus ke jalan raya Bangkinang untuk kembali ke Pekanbaru. Di mobil pun saya masih sibuk mengirimkan sms tersebut ke teman-teman FLP lainnya termasuk pengurus FLP pusat. Ketika saya sampai di klinik dr. Hasni sekitar pukul 11.45 orang-orang – umumnya kader dakwah – telah berjibun di sana, sehingga saya tak sempat melihat langsung jenazah beliau. Tak lama setelah itu beliau pun di boyong ke rumah neneknya untuk di mandikan dan prosesi fardu kifayah lainnya.
“Yang lain mana, Mbak?”
“Belum nampak.”
“Mbak! Ustadz minta surat itu secepatnya. Mbak Intan bisa ketikkan?”
“Kapan ane serahkan?”
“Besok pagi.”
“Di mana?”
“Di Arfaunnas.”
“Insya Allah.”
“Atau Mbak antarkan ke komsat aja, bisa!”
“O, iyalah. Insya Allah bisa.”
Setiap orang yang berjumpa/ berteman atau berorganisasi dengan Ruwaida Muthia atau akrabnya Intan Amlan tentu punya kenangan yang beragam bersamanya. Apalagi orang tua dan sanak saudaranya yang tentunya lebih banyak berinteraksi dengannya. Saya saja yang baru setahun lalu – tahun 2008 ketika muswil FLP di rumah teh Dina – mengenalnya dan kemudia sama-sama sebagai pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah riau, telah menyimpan dokumentasi kebaikannya, apalagi mereka yang telah mengenalnya lebih dahulu dari saya.
Percakapan pada tulisan ini adalah sebagian interaksi saya dengan beliau. Di FLP beliau sangat aktif, baik hadir dalam agenda syuro maupun masukan-masukan lewat telepon/sms, termasuk beberapa waktu lalu beliau sempat bilang, “Pak, ane kira tempat talk show di BPA itu nggak muat, karena biasanya peserta itu membludak pada hari H-nya.”Tidak jarang juga pada syuro yang kita agendakan ia telah hadir duluan on-time seperti yang saya temui di puswil, sementara yang lain masih belum terlihat. Namun, ia telah pergi, ya Allah telah memanggilnya sebelum ia sempat bertemu mbak Asma Nadia seperti yang ia impikan sebelumnya. Laksana Amar bin Yasir, Mus’ab bin ’Umair, Hamzah bin Abdul Muthallib, Mu’az bin Jabal dan para syuhada lainnya yang terkubur di Baqi’ sebelum sempat menyaksikan kemenangan Islam. Ia memang tak berjumpa Asma Nadia, ia tak sempat menyaksikan meriahnya acara, namun ia berjumpa dengan pemilik jagad raya Allah Swt, laiknya para syuhada yang disambut para bidadari yang bermata jeli. Semoga.
Dalam hal kepenulisan Intan telah menunjukkan eksistensinya, ia sangat mengerti makna kehidupan ini, karena hidup sesungguhnya tidak bisa dibatasi oleh usia. Boleh jadi ada orang yang berakhir hidupnya bersama tamatnya usia, atau bahkan tak dihitung hidup walaupun usia masih tersisa. Namun Intan telah keluar dari ruang tersebut, ia telah bekerja buat peradaban. Seperti dikatakan Francis Bacon, ”Manusia boleh mati, tapi ia bisa memperpanjang umurnya, jika ia meninggalkan sesuatu yang ’abadi’ yaitu sebuah karya. Karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan ke’arifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil-hasil karya yang lain, semisal monumen istana, candi ataupun sebuah kota.” Terbukti dua naskah buku non fiksinya sekarang lagi digarap penerbit. Begitupun dalam naskah antologi cerita pendek FLP Riau. Beliau sebagai Humas FLP cukup concern pada amanahnya, walaupun terkadang perlu saya ingatkan untuk selalu me-update tulisan-tulisan di blog yang dikelolanya. Makanya kita di FLP betul-betul kehilangan anggota sekaligus pengurus terbaik seperti beliau.
Semoga catatan ini singkat merupakan bagian dari upaya kita untuk mengakui bahwa ia pernah ada di gelanggang kehidupan ini. Kalau dulu ketika ia lahir disambut dengan kegembiraan, maka dihari kembali kepada-Nya tidak sedikit yang berderai air mata sampai saat ia diantarkan ke tempat peristirahatan terahir.
Buat teman-teman FLP kembali kita rapatkan shaf. Banyak hal yang harus kita perbaiki ke depannya, termasuk peningkatan kualitas penulisan dan manajemen organisasi. Ukhtina Intan telah menunaikan amanahnya dengan baik, dan bagi kita kembali menyelesaikan tugas-tugas yang masih banyak harus kita sempurnakan.
Selamat jalan mbak Intan…semoga kita bertemu di ‘kafe langit’ dan ‘menulis’ buat selamanya.
“Yang lain mana, Mbak?”
“Belum nampak.”
“Mbak! Ustadz minta surat itu secepatnya. Mbak Intan bisa ketikkan?”
“Kapan ane serahkan?”
“Besok pagi.”
“Di mana?”
“Di Arfaunnas.”
“Insya Allah.”
“Atau Mbak antarkan ke komsat aja, bisa!”
“O, iyalah. Insya Allah bisa.”
Setiap orang yang berjumpa/ berteman atau berorganisasi dengan Ruwaida Muthia atau akrabnya Intan Amlan tentu punya kenangan yang beragam bersamanya. Apalagi orang tua dan sanak saudaranya yang tentunya lebih banyak berinteraksi dengannya. Saya saja yang baru setahun lalu – tahun 2008 ketika muswil FLP di rumah teh Dina – mengenalnya dan kemudia sama-sama sebagai pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah riau, telah menyimpan dokumentasi kebaikannya, apalagi mereka yang telah mengenalnya lebih dahulu dari saya.
Percakapan pada tulisan ini adalah sebagian interaksi saya dengan beliau. Di FLP beliau sangat aktif, baik hadir dalam agenda syuro maupun masukan-masukan lewat telepon/sms, termasuk beberapa waktu lalu beliau sempat bilang, “Pak, ane kira tempat talk show di BPA itu nggak muat, karena biasanya peserta itu membludak pada hari H-nya.”Tidak jarang juga pada syuro yang kita agendakan ia telah hadir duluan on-time seperti yang saya temui di puswil, sementara yang lain masih belum terlihat. Namun, ia telah pergi, ya Allah telah memanggilnya sebelum ia sempat bertemu mbak Asma Nadia seperti yang ia impikan sebelumnya. Laksana Amar bin Yasir, Mus’ab bin ’Umair, Hamzah bin Abdul Muthallib, Mu’az bin Jabal dan para syuhada lainnya yang terkubur di Baqi’ sebelum sempat menyaksikan kemenangan Islam. Ia memang tak berjumpa Asma Nadia, ia tak sempat menyaksikan meriahnya acara, namun ia berjumpa dengan pemilik jagad raya Allah Swt, laiknya para syuhada yang disambut para bidadari yang bermata jeli. Semoga.
Dalam hal kepenulisan Intan telah menunjukkan eksistensinya, ia sangat mengerti makna kehidupan ini, karena hidup sesungguhnya tidak bisa dibatasi oleh usia. Boleh jadi ada orang yang berakhir hidupnya bersama tamatnya usia, atau bahkan tak dihitung hidup walaupun usia masih tersisa. Namun Intan telah keluar dari ruang tersebut, ia telah bekerja buat peradaban. Seperti dikatakan Francis Bacon, ”Manusia boleh mati, tapi ia bisa memperpanjang umurnya, jika ia meninggalkan sesuatu yang ’abadi’ yaitu sebuah karya. Karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan ke’arifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil-hasil karya yang lain, semisal monumen istana, candi ataupun sebuah kota.” Terbukti dua naskah buku non fiksinya sekarang lagi digarap penerbit. Begitupun dalam naskah antologi cerita pendek FLP Riau. Beliau sebagai Humas FLP cukup concern pada amanahnya, walaupun terkadang perlu saya ingatkan untuk selalu me-update tulisan-tulisan di blog yang dikelolanya. Makanya kita di FLP betul-betul kehilangan anggota sekaligus pengurus terbaik seperti beliau.
Semoga catatan ini singkat merupakan bagian dari upaya kita untuk mengakui bahwa ia pernah ada di gelanggang kehidupan ini. Kalau dulu ketika ia lahir disambut dengan kegembiraan, maka dihari kembali kepada-Nya tidak sedikit yang berderai air mata sampai saat ia diantarkan ke tempat peristirahatan terahir.
Buat teman-teman FLP kembali kita rapatkan shaf. Banyak hal yang harus kita perbaiki ke depannya, termasuk peningkatan kualitas penulisan dan manajemen organisasi. Ukhtina Intan telah menunaikan amanahnya dengan baik, dan bagi kita kembali menyelesaikan tugas-tugas yang masih banyak harus kita sempurnakan.
Selamat jalan mbak Intan…semoga kita bertemu di ‘kafe langit’ dan ‘menulis’ buat selamanya.
1 komentar:
ya, pak wamdi betul.
ana mengenal beliau sejak ana kelas 2 sma, dan sampai saat ini, ana selalu merasa "bukan apa-apa" jika dibandingkan dengan sosok beliau yang luar biasa.
ketika ant mengamanahi ana untuk membuat slide FLP(yang tadinya dihandle oleh mbak intan),ana merasa berat.
sanggupkah?
karena ana yakin, ketika mbk intan yang membuatnya,, hasilnya pasti jauh,jauh lebih bagus dari yang ana buat.
(semoga ana tidak mengecewakan)
Posting Komentar