Minggu, 07 Desember 2008

Malaikat-malaikat Kecil


Oleh: Wamdi

uang logam itu telah menyesakkan isi celengan Ani. Dua bulan terakhir ini sisa uang jajan yang dikasih Ummu Salamah – pengasuh panti asuhan Darun Niswah – memang lebih banyak dimasukkannya ke dalam celengan yang berbentuk ayam betina itu. Mulai uang logam seribu rupiah sampai yang terkecil. Seratus rupiah. Untung saja asramanya itu tidak dihuni oleh anak-anak yang suka mengambil barang sesama mereka. Ummu Salamah selalu memberi wejangan, supaya dia dan teman-temannya tidak berbuat sembarangan dengan milik orang lain apalagi sampai mengambilnya.

Ani merencanakan celengannya itu dibuka pas hari ulang tahunnya nanti, tepatnya tanggal lima belas November. Sekarang bulan Agustus, berarti masih ada waktu tiga bulan lagi. Tapi, ayam betinanya itu sudah kekenyangan, kalau dia hidup mungkin jalannya sudah terseok-seok, seperti ular yang menelan kambing tuk Badrun seminggu yang lewat. Gadis kecil itu merencanakan lagi membeli celengan baru, kalau ada yang berbentuk ayam jantan sehingga akan tampak sepasang.

Ummu Salamah yang sembunyi-sembunyi ternyata memperhatikan apa yang dilakukan Ani. Sepulang sekolah anak-anak panti itu berhamburan ke dapur, tanpa mengganti pakaian seragam sekolah mereka terlebih dahulu, tapi, Ani langsung ke kamar dan merogoh kantong tas-nya, mengeluarkan kepingan-kepingan logam itu, sejurus kemudian memasukkannya kedalam celengan yang terletak di atas lemarinya.

Begitupun hari ini. Ummu Salamah melihat Ani tersenyum-senyum ketika tangan mungilnya menyuapkan logam-logam itu ke dalam mulut ayam betinanya. Wanita itu pun tersenyum. Baru kemaren rasanya Ani yang waktu itu masih bayi diserahkan ke panti Darun Niswah ini oleh pihak rumah sakit Mustasyfa. Waktu itu pihak rumah sakit menceritakan kejadian yang menimpa keluarga Ani. Ayahnya yang bekerja sebagai kuli bangunan menjadi korban gempa bersama lima ratus lebih korban lainnya. Ketika ia sedang menyusun batu bata di bangunan rumah salah seorang penduduk. Beruntung ibunya waktu itu sudah berada di rumah sakit dua hari sebelum kejadian yang mengganaskan itu. Sehingga rumah bersalin tempat ibunya dirawat tidak kena getaran yang begitu kuat, walaupun banyak pasien yang dilarikan keluar ruangan. Namun, mujur tak dapat dipinta malang tak dapat dielakkan. Ketika dia baru hadir sekitar lima menit di alam fana ini, ibunya pun diboyong malaikat maut ke alam Barzakh. Ah, kalau mengingat itu mata Ummu Salamah tak sanggup menahan tangis. Iba.

Kini Ani atau lebih lengkapnya Annisa sudah besar dalam penglihatannya. Ani sudah bisa menyisihkan uang sakunya dan ditabung. Kalau bicara sangat lancar walaupun sampai sekarang Ani masih harus berjuang mengucapkan huruf "R" yang belum pas. Tapi setidaknya Ani bukan Ani yang dulu lagi, yang suka membangunkannya ditengah malam dan merengek minta dibuatkan susu. Kalau Ani bertanya siapa ibu dan ayahnya Ummu Salamah tak pernah menyembunyikan. Bahkan tiga hari yang lalu Ani minta padanya menceritakan kembali ayah dan ibunya. Awalnya dulu Ani memang menangis mendengarkannya, tapi belakangan ini dia lebih banyak mendoakan ayah dan ibunya itu. Apalagi Ummu Salamah selalu mengatakan sekarang ini ialah ibunya dan suaminya sebagai ayah dari anak-anak penghuni panti Darun Niswah ini. Walaupun suami perempuan itu hanya pulang sekali seminggu, karena bekerja di luar kota.

Berlahan-lahan dia dekati anak itu.

"Eh, Ummi!" ucap Ani tersentak ketika tangan Ummu Salamah menyentuh pundaknya.

"Ani belum makan, sayang?" tanyanya. Tangannya sudah merangkul leher Ani.

"Belum, Mi! bental lagi," tangannya masih memasukkan sekeping lagi. Seratus rupiah.

"Berapa Ani isi celengannya hari ini?"

"Tujuh latus, Mi!" ucapnya. Wajahnya tampak ceria.

"Lo, tadi di sekolah Ani belanja apa yang delapan ratusnya lagi?" Ummu salamah setiap paginya memberikan uang jajan masing-masing anak-anaknya itu seribu lima ratus.

"Lima latus tadi beli kue dan tiga latusnya Ani masukkan kecelengan mushala. Kata Bu Aisyah di sekolah tadi, kalau kita lajin shadaqah bisa Bantu abi dan umi yang telah meninggal." Ucapan itu seperti menyihir Ummu Salamah. Kata-kata itu meluncur tanpa beban, tapi mengandung makna yang sangat dalam. Mulia sekali hatimu, Nak. Tak sia-sia dia mendidik mereka selama ini. Walaupun mereka bukan anak kandungnya, namun Allah telah memberikan anak-anak yang mungkin jauh lebih baik dari yang dipintanya selama ini. Dia masih ingat si Musdalifah yang waktu itu masih kelas enam SD sudah hafal Quran tiga belas juz. Sekarang sudah melanjutkan sekolahnya ke pesantren Darul Quran. Sebulan lalu Wita mendapatkan penghargaan sebagai pengarang terbaik cerpen anak yang diselenggarakan Riau Pos. Dia lagi makan siang di belakang sana bersama teman-temannya. Dan saat ini dia merasakan getaran yang cukup hebat mendengar kata-kata Ani. "Kata Bu Aisyah di sekolah tadi, kalu kita lajin sadaqah bisa Bantu abi dan umi yang sudah meninggal." Anak yang baru berumur lima tahun. Baru sekolah taman kanak-kanak, tepatnya taman-kanak-kanak Raudotul Atfal. Dari mana dia tahu kasih sayang abi dan uminya padahal dia tidak pernah mengenalinya.

"Subhanallah, subhanallah," berulang kali lafaz tasbih itu meluncur dari seorang ibu yang telah mengasuhnya selama ini. Maha suci Allah yang telah berbuat sekehendaknya. Air matanya pun berurai.

"Mi! Umi nangis, ya?" Tanya Ani, ketika air mata ibu asuhnya itu menimpa tengkuknya.

"Tidak sayang, umi cuma senang mendengar cerita kamu," tangannya mengusap matanya yang basah.

"Kalau Ani senang Ani senyum, juga ketawa. Kalau Ani sedih Ani menangis. Kalau Ani sakit Ani merintih. Tapi, Umi senang, kok nangis? tanyanya lagi. Ah, orang tua macam-macam aja, pikirnya.

"Ya, sudah, sekarang Ani ganti baju dulu dan makan bersama teman-teman dibelakang sana, ya!" Ummi Salamah melepaskan pelukannya. Tak perlu rasanya Ani sekarang tahu kenapa dia begitu. Ia hanyalah satu diantara sekian banyak orang dewasa yang munafik pada diri sendiri. Yang matanya menangis padahal hatinya senang. Yang tersenyum padahal hatinya merintih. Setelah Ani berangkat ke dapur wanita itu pun bergegas ke depan.

Isya baru saja berlalu. Asrama terdengar riuh. Beberapa orang tampak membentuk lingkaran, mereka mengaji sama kak Fina yang sekarang sudah kelas tiga SMP. Mereka saling bergantian membaca buku iqrak dan yang lain mendengarkannya, sekali-kali ada yang menunjuk tangan dan bertanya dari bacaan yang tidak mereka pahami. Sedangkan di tempat shalat sana tampak Afirah, Kalsum, Tari, Ima dan Tesya lagi menghafal ayat-ayat Al-Quran. Mata mereka kadang-kadang dipejamkan, sejurus kemudian tampak dibuka lagi. Begitulah selalu yang mereka lakukan, hingga ayat-ayat Tuhan itu terpasung dalam otak mereka. Sementara di lorong menuju ke dapur terlihat Ani dan empat orang anak lainnya duduk dengan berbaris. Lima gadis cilik itu mendengar Ummu Salamah bercerita, di temani sebuah laptop. Ani duduk di depan sekali.

"Jadi, setelah Pinguin mendengarkan cerita tentang Buaya itu dari Kelinci. Pinguinnya tidak takut lagi sama buaya, karena ternyata tidak semua Buaya itu suka berbuat jahat. Kita lihat contohnya tadi bagaimana Buaya membantu anak-anak Penyu untuk berenang di laut," wanita paruh baya itu sedikit menerangkan bagian film yang mereka tonton itu.

Ummu Salamah kembali menyalakan laptopnya. Ani dan teman-teman semakin penasaran dengan kelanjutan cerita dari film "Petualangan Pinguin dan Kelinci." Mata bulat mereka terfokus pada laptop dipangkuan pengasuhnya itu.

Lima belas menit kemudian, setelah pemutaran film berakhir, Ani mengacungkan tangan. Bertanya. Ummu Salamah mempersilakannya.

"Umi, Ani mau Tanya, tapi tidak mengenai film ini. Boleh nggak, Mi?"

"Ya, tak apa-apa, sayang. Kalian boleh tanya masalah apa saja."

"Tadi pagi di sekolah Ibu gulu bilang kalau kita tidak belagama Islam, maka apa yang kita belikan sama olang lain nggak ada nilainya. Waktu Ani mau Tanya, Mi! Eee, belnya malah bunyi. Ani tak jadi beltanya. Waktu istilahat Ani pelgi main buayan sama teman-teman. Setelah itu Ani masuk pelut gajah, buaya dan juga zelafah dan..."

"Ya, Aninya mau Tanya apa, sayang," Ummu Salamah memotong cerita anak gadis itu, yang sudah meluas ke sana ke mari. Sementara temannya yang lain terbahak-bahak mendengar Ani mengatakan, "Pelut gajah dan zelapah," ketika menceritakan patung gajah, buaya dan zerafah yang terletak di depan kelas mereka.

"Eh, iya Ani hampil lupa. Yang mau Ani tanya. Ani punya teman, di sebelah lokal Ani! Namanya Malia. Dia suka sekali membagi-bagi kue di sekolah. Tapi.."

"Tapi, kenapa sayang," potong Ummu Salamah.

"Tapi dia beda agama dengan Ani, Mi! dia bilang agamanya Kelis, Kelis.."

"Keristen, maksud Ani."

"Betul, Mi! agamanya sepelti yang umi bilang itu," Ani belum juga bisa menyebutnya.

"Jadi, kalau beda agama dengan Ani. Malia nggak dapat nilai dong Mi! padahal dia satu sekolah dengan Ani," Ani tampak kesal. Sementara empat temannya, tampak asik mewarnai beragam gambar binatang yang tubuhnya masih berbentuk garis yang terpotong-potong.

Memang beberapa tahun belakangan ini Ummu Salamah mendengar, kalau TK Raudhotul Atfal sudah menerima anak-anak non muslim. Jadi, tentu di sana anak-anak muslim sudah berbaur dengan teman-temannya yang berbeda agama. Salah satunya Maria, seperti yang diceritakan Ani. Tapi, Ummu Salamah bingung, kenapalah gurunya Ani membicarakan sesuatu yang membingungkan anak-anak. Dan sekarang juga membingungkannya menjawab pertanyaan gadis kecil yang duduk di depannya. Bingung Bagaimana menjelaskannya sehingga Ani bisa mengerti.

"Ani, nilai yang dibilang Bu Aisyah itu, bukan seperti nilai Ani yang diberikannya waktu menggambar, tapi.."

"Jadi, nilai bagaimana lagi, Mi?" desak Ani penasaran. "Selama ini kalau gambal yang Ani buat bagus, Bu Aisyah ngasih nilai seratul dan Malia seling juga dapat selatus kok, Mi! dari gulunya Bu Maimunah. Bahkan ketika tanding nyanyi, Malia lebih bagus sualanya dari Ani," akunya. Ani memberontak.

Ummu Salamah makin sulit rasanya menjelaskan. Ani orangnya memang suka bertanya. Bahkan kalau di kelas Anilah yang paling doyan bertanya. Dia kembali mencari alasan lain yang lebih mudah dipahami gadis kecilnya itu.

"Ani, nilai yang dibilang Bu Aisah tadi itu artinya pahala."

"Pahala!!!"Ani makin bingung. Ia mengerutkan keningnya sehingga ujung-ujung alisnya bertemu. Alisnya tebal seperti elang yang membentangkan sayap.

"Sekarang begini," Ummu Salamah cepat mencari solusi lain. Jangan sampai terlalu lama Ani dalam kebingungannya. Ya Allah berikan kemudahan pada hamba menerangkan kebaikan pada malaikat kecilmu ini. Rintihnya.

"Kalau nilai itu dari guru, sedangkan pahala dari Tuhan. Nah, Tuhannya Ani-kan beda dengan Tuhannya Maria." Terangnya. Agak melegakan melihat kerutan kening Ani makin lenyap.

"Coba, Ani kalau shalat berapa kali tiap hari?"

"Lima kali. Coba Ani itung, ya! Subuh dua lakaat, Zuhul empat lakaat, Asal empat lakaat, Maghlib tiga lakaat dan Isya empat lakaat. Jadi, dua tambah empat! Enam, tambah empat sepuluh, tambah tiga tiga belas, tambah empat tujuh belas. Semuanya tujuh belas lakaat, Mi!"jawabnya senang.

"Kalau Maria kapan shalatnya?"

"Dia bilang hali Minggu, Mi! dan itu bukan shalat namanya, tapi sembayang. Di geleja lagi." Ummu Salamah membenarkan apa yang dikatakan Ani.

"Nah, jadi Tuhannya Ani ngasih pahala sama Ani dan Tuhannya Maria ngasih pahala juga pada Maria."

"Kalau begitu Tuhannya Malia kikil dong, Mi! masak Malia cuma dapat pahala sekali seminggu, sedangkan Tuhan Ani ngasih pahala tiap hali lima kali. Tujuh belas lagi ya, Mi!"

"Iya, tapi.."

"Ah, besok Ani kasih tahulah sama Malia, Tuhannya ganti aja sama Tuhan Ani."

"Jangan sayang! Nanti Ibunya marah."

"Lo, kok malah sih, Mi! kan bial Malia dapat banyak pahala."

"Diharapkan pada adik-adik semua untuk berwuduk dan bersiap-siap tidur, karena jam sudah menunjukkan pukul dua puluh dua" terdengar suara kak Wita menyampaikan pengunguman lewat microfon. Itu artinya tidak boleh ada kegiatan lain, semua sudah harus istirahat. Tidur.

Begitu pun dengan Ani. Ummu Salamah mengajaknya beranjak menuju kamar yang terletak di samping tempat shalat. Empat orang temannya tadi lebih dahulu sudah berlarian sebelum kak Wita menyampaikan pengunguman itu. Pertanyaan Ani? Ya pertanyaan Ani akan dijawab besok subuh. Tapi, setidaknya Ummu Salamah sedikit lega, ada kesempatan baginya mencari jawaban dari pertanyaan gadis lima taunan itu.

Tepat jam dua dini hari, ketika penghuni panti terlelap dalam peraduannya, Ketika puluhan atau bahkan ratusan jangkrik berdendang dengan riangnya. Ketika embun pagi mulai turun mencium dedaunan, mencium bumi, mencium atap-atap rumah. Ketika malaikat rahmat mencari hamba-hamba Tuhan yang bersimpuh pada-Nya. Ummu Salamah bangun, berwuduk dan seterusnya bermunajat, minta ampun pada Sang Maha pemberi ampunan dari segala dosa buat dirinya, suaminya dan para anak asuhnya. Minta diberikan petunjuk bagaimana memberikan jawaban pada si Ani kecil. Sekali-kali terdengar sesunggukan yang merobahkan tembok keangkuhan. Berulang kali lafaz-lafaz tasbih, tahmid, takbir mengalir dari mulut perempuan yang berhati emas itu.

Tuhan mabukkanlah aku

Dengan anggur cinta-Mu

Rantai kaki erat-erat

Dengan belenggu penghambaan

Kuraslah seluruh isi diriku

Kecuali cinta-Mu

Lalu cerai daku

Laparku yang maha pada-Mu

Telah membuatku

Berlimpah karunia2

Jangkrik terus saja berdendang di luar sana. Menyanyikan lagu yang tidak dipahami Ani, Lisa, Afirah, Ummu Salamah dan penghuni panti lainnya. Semoga besok subuh Ani tidak menanyakan apa arti dari lagu yang didendangkan jangkrik-jangkrik itu, desah Ummu Salamah. Dia sempatkan melihat anak asuhnya di kamar sebelah. Tangannya membenarkan selimut-selimut yang membaluti malaikat-malaikat kecilnya itu.

Pekanbaru 17 Februari 2008

Read More......

Rabu, 26 November 2008

Lirik lagu laskar pelangi

Lirik lagu laskar pelangi

mimpi adalah kunci
untuk kita menaklukkan dunia
telah hilang
tanpa lelah sampai engkau
meraihnya

laskar pelangi
takkan terikat waktu
bebaskan mimpimu di angkasa
raih bintang di jiwa

menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya…

cinta kepada hidup
memberikan senyuman abadi
walau ini kadang tak adil
tapi cinta lengkapi kita

laskar pelangi
takkan terikat waktu
jangan berhenti mewarnai
jutaan mimpi di bumi

menarilah dan terus tertawa
walau dunia takseindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya…

Read More......

Senin, 24 November 2008

Budaya Baca Penulis


Oleh: Wamdi*

“Kalau engkau sendiri malas membaca, bagaimana engkau menyuruh orang lain rakus membaca tulisanmu”(M. Fauzil Adhim)

Beberapa waktu lalu saya diminta sebagai MOT (Master Of Traning) pada Dauroh Marhalah (DM) I KAMMI komisariat UIN Suska, waktu itu saya sempat bertanya pada peserta siapa yang punya jadwal membaca buku setiap harinya. Alhamdulillah dari 140 lebih peserta hanya 3 orang yang mengacungkan tangan, akhirnya saya cuma berkomentar, “Oke! Sekarang hanya tiga orang yang punya agenda baca buku setiap harinya, tapi setelah selesai traning besok antum harus men-jadwalkannya, karena tak ada cerita kader KAMMI malas baca buku.”

Namun, terlepas dari itu semua ini adalah indikasi betapa rendahnya budaya baca kita, bahkan telah menjalari kaum intelektual. Dan belum ada kabarnya sebuah bangsa akan menjumpai peradabannya selama membaca tidak me-masyarakat. Karena ketika kita menceritakan bangsa-bangsa besar, sesungguhnya pada saat yang bersamaan kita sedang menyelami ide-ide besar, dan ide besar hanya akan terlahir dari rahim si melek baca. Mereka memang tidak bertatap muka dengan pendahulunya secara fisik, tetapi mereka telah melakukan komunikasi lewat karya, sehingga menyelinaplah pesa-pesan moyang mereka ke sanubari dan dengan itu mereka mempertimbangkan langkah di masa yang akan datang. Atau apa yang dikatakan Seno dalam bukunya ‘Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara’ masih pantas di sematkan pada kita? “Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan.”

Baiklah, kalau di ruang sana mereka masih menyedihkan rendahnya budaya baca penghuninya, maka sejatinya penulis telah lama hengkang dan tak berhasrat lagi meliriknya apalagi mendiami kembali. Bagi mereka membaca bukanlah pelepas tanya orang yang ingin mengetahui hobby-nya, karena membaca telah masuk pada deretan kebutuhan primer-nya yang ia hajatkan setiap hari, cuma bedanya kalau makan dan minum dilakoninya sejak bayi, maka membaca baru digelutinya setelah bercengkrama dengan berbagai bentuk huruf.

Dengan membacalah Najib Kailani berhasil menulis setting Jakarta lewat novelnya Gadis Jakarta walaupun dia belum pernah menjejakkan kakinya ke negeri ini. Atau Roidah novelis Sumbar yang menulis Mardigras, walaupun ia belum ke New Orleand, ia hanya mengenalinya lewat literature-literatur saja. Lewat membaca jugalah seorang anak bisa menceritakan pengalaman liburannya ke Afrika, di sana dia berkunjung ke desa-desa pedalaman, menyusuri hutan belantara, padahal dia hanya membaca novel warisan karya Himunyaga-Phiri, dia bercerita tentang Jepang lewat Daerah Salju karya Yatsunari Kawabata, bercerita Mesir dengan hanya membaca Lorong Midaq karya Naguib Mahfouz.

Maka, membaca adalah gizi bagi pertumbuhan para penulis, ketika terbetik ke-engganan membaca sesungguhnya dia mengimpikan busung lapar yang akan meggrogoti kreativitasnya. Kalau menulis kita ibaratkan kran yang mengeluarkan air, maka membaca adalah tangkinya. Kran-nya akan tetap mencucurkan air selama air di tangkinya masih ada, namun sewaktu air di tangki menipis dan kosong, maka yang di temui hanya tetesan yang berujung kenihilan.

*Ketua FLP wilayah Riau

Read More......

Senin, 20 Oktober 2008

Mari Menuju Kemenangan



Wamdi*
“Kemenangan hakiki adalah kemenangan yang tak berujung”

Tahun adalah kumpulan bulan, bulan adalah persatuan minggu, minggu adalah pertemuan hari, hari adalah perjumpaan jam, jam adalah perpaduan menit, menit adalah pergumulan detik, sedangkan detik adalah perkawinan nafas। Tak usahlah ditanya kenapa begitu, karena waktu tak-kan berhenti dengan pertanyaan yang kita suguhkan. Kalau mau bertanya tanyalah, adakah perkawinan nafas kita melahirkan desahan zikir? Adakah pergumulan detik menjadi menit, perpaduan menit menjadi jam, perjumpaan jam menjadi hari, pertemuan hari menjadi minggu, persatuan minggu menjadi bulan, kumpulan bulan menjelmalah tahun kita semakin baik? Semakin santun? Semakin ‘arif? Kalau iya, maka tingkatkanlah atau minimal bersekukuhlah kita di situ, tapi kalau kita menggeleng, maka nafas kita telah mandul, pelita kita telah padam sementara malam masih pekat, tongkat kita telah patah sedangkan perjalanan masih jauh, mendaki menurun, onak dan duri bertebaran di sana sini. Bisa-bisa kita tersesat di hutan rimba yang dirajai si-singa dan jadi kita cuci mulutnya, atau terdampar di pulau setan yang tak ada manusianya dan kita pun akan diperlakukan tanpa manusiawi, awalnya kita memang kesal, namun lama-kelamaan kita menikmatinya, karena kita adalah setan dan setan itulah kita, nauzubillah…

Sekarang, kita berada di bulan Ramadhan, bulan yang penuh rahmat-Nya, pintu-pintu surga lagi dibuka lebar-lebar, dan pintu-pintu neraka ditutup serapat-rapatnya, sedangkan para setan diterali. Sangat besar peluang kita mendekati-Nya, bukankah mentakutinya dengan mendekatinya?
Baliklah kembali sejarah dan temukan keajaiban-keajaiban Ramadhan padanya. Kaum muslimin meraih kemenangan perang Badar pada bulan Ramadhan. Muzafar Quthus menakhlukkan pasukan Tartar dalam perang ‘Ain Jalut pada bulan Ramadhan. Shalahuddin Al-Ayyubi mengusir pasukan salib dari tanah Palestina dalam perang Hithin pada bulan Ramadhan, dan Muhammad Al-Fatih Murad melakukan puasa berturut-turut tiga hari sebelum merebut Konstantinopel.
Ramadhan dengan segala keistimewaannya telah Allah persembahkan pada kita, tinggal kita bertanya apa yang ita persembahkan pada-Nya? Puasa! Adakah puasa kita seperti tuntunannya? Tilawah! berapa juz perhari? Silahkan masing-masing kita mengajukan pertanyaan itu pada diri-diri kita. Terahir tanyakan padanya, adakah kau mau menang seperti tentara perang Badar? Seperti Muzafar, Shalahddin Al-Ayyubi, atau Muhammad Al-Fatih? Kalau ia mengiyakan, maka bergulatlah dengan nafsumu, karena kemenangan di alam nyata adalah buah kemenangan di alam jiwa, setelah itu mari kita songsong kemenangan.
*Dirjen redaksional Dema UIN Suska 2008-2009

Read More......

Senin, 13 Oktober 2008

Mari Lupakan Bakat


Oleh: Wamdi*

Seringkali saya mengajak teman untuk bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) untuk sama-sama berkarya, namun tidak jarang juga saya dapati jawabannya, “Ah, saya tidak berbakat menulis,” sebuah jawaban yang saya kira meng-aborsi-kan kreativitas sebelum ia terlahir. Persoalannya bukan pada berbakat atau tidak, tapi lebih jauh dari itu adalah mau atau tidak, Bukankah moyang kita pernah berpesan, “Kemauan beribu jalan, ke-engganan beribu alasan.” Orang yang mau, matanya nyelang, pikirannya lincah, tangannya cekatan, sedangkan si-enggan akan menyusun ragam alasan, sehingga matanya sayu, pikirannya buntu dan tangannya pun kaku.
Dalam dunia tulis menulis, karang mengarang, bakat tak lebih dari 5% saja, sedangkan yang 95% adalah proses belajar. Mungkin Anda tidak percaya! Namun lihatlah dan sebutlah nama-nama penulis handal; Arswendo Atmowiloto, Goenawan Muhammad, William Chang, Habiburrahman El-Syirazi, Helvi Tiana Rosa, Bondar Winarno, Moh. Sobary, Asma Nadia, Parakitri Tahi Simbolon, Andreas Harefa, atau Wimar Witoular. Mereka tidak dititisi darah menulis dari orang tuanya, namun mereka sendirilah yang menekuninya, berlatih, berlatih, dan berlatih. Memetik sendiri ilmu menulis usai membaca karya tulis orang lain.
Tapi, bagaimana pun menulis membutuhkan kesabaran yang berlipat ganda, kesabaran menjalani proses. Dan justu di sinilah kurangnya daya tahan para penulis pemula. Seorang motivator menulis dari Amerika, Natalie mengatakan, “Pertama menulis janganlah kira berpikir kualitas, namun kuantitas.” Tulisan berkualitas penting, tapi terlepas dari itu adalah telah berapa banyak kita menulis. Sehingga Natalie mengisahkan bagaimana dia menulis, ketika datang kemalasan, justru dia menulis, “Saya sedang malas menulis,” dan itu dia tulis sebanyak-banyaknya. Lihat lagi bagaimana usaha Joni Ariadinata, seorang tukang ojek belajar menulis. Sepulang mencari tumpangan di waktu maghrib, dia mandi dan kemudian membaca sampai larut malam, kemudian sekitar jam tiga bangun kembali dan menulis sampai pagi.
Mungkin anda akan bertanya, bagaimana dengan Andrea Hirata sang penulis Laskar Pelangi, bukankah seumur hidupnya belum pernah menulis sepotong cerpen pun apalagi novel, tiba-tiba menulis dan bukunya best seller? Betul sekali, tapi juga jangan melupakan bagaimana Andrea Hirata menyimpan potongan-potongan perjalanan hidupnya dalam diary. Dan hasil penelitian menyatakan bahwa 75% cerpen/novel yang ditulis anak manusia merupakan pengalaman hidupnya.
Sekarang sudah saatnya si-bakat kita kuburkan dalam-dalam dan kalau pun dia bangkit kembali, biarlah dia menemani perjalanan kita dan menyuntikkan semangat optimisme, sehingga hidup kita yang luar biasa ini tidak kita sandarkan padanya. Mari kita tapaki jejak langkah para ulama yang menjadikan tulisan sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Prancis Bacon suatu ketika mengatakan, “Manusia boleh mati, tapi ia bisa memperpanjang umurnya jika ia meninggalkan sesuatu yang “abadi” yaitu sebuah karya. Karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan kearifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil karya-karya yang lain, semisal monumen istana, candi, atau pun sebuah kota.”

*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Riau

Read More......

Forum Lingkar Pena





SUSUNAN PENGURUS FLP WILAYAH Riau 2008-2010


Ketua Umum : Wamdi
Sekretaris Umum : Herleni Hamdi
Bendahara Umum : Silviana Hendri
Bidang Kaderisasi : Satri
Bidang Fiksi Nonfiksi : Bambang Karyawan
Sonya
Bidang Dana Usaha : Indra Purnama
Gustri Yulia
Bidang Humas : Dahrial
Ruwaida Mutia (Intan)

Read More......

Minggu, 12 Oktober 2008

Lawa; Biarkan Suamimu Musafir


Lawa; Biarkan Suamimu Musafir

Oleh: Wamdi*

Beberapa waktu lalu Saidul Tombang mengasihkan beberapa buah novel Lawanya kepada saya, rencanya novel itu akan dibedah bersama teman-teman Forum Lingkar Pena। Terus terang saya senang menerimanya, disamping gratis juga merupakan indikator bahwa semakin hari semakin bertambah deretan novelis di tanah melayu ini. Terima kasih, Cu! Semoga novel ini merupakan kail yang akan memancing novel Ocu dimasa yang akan datang.

.

Setelah saya membacanya, saya juga mempunyai beberapa catatan, yang akan coba saya dedahkan disini.

Keluaga Markoni yang taat

Seperti yang diceritakan, Markoni lahir di Mahat, sebuah kampung yang subur dengan penghidupan masyarakatnya dari bertani serta kondisi alam yang dikelilingi pengunungan. Serta kampung yang dipagari dengan adat istiadat yang turun temurun diwariskan pada anak cucu mereka. Ditambah lagi ajaran agama yang begitu kental merasuki setiap individu masyarakatnya. Sehingga klop-lah apa yang mereka kumandangkan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.”

Dengan kondisi sosio-kultural seperti itu, maka layaklah kalau Markoni ketika belum genap berumur enam tahun dia telah pandai mengaji dan bahkan juara tilawah tingkat kampung ketika masih delapan tahun. Walaupun ayahnya telah meninggal karena serangan demam malaria ketika ia mesih menyusu pada bundanya, namun itu sama sekali tak-lah mengurangi kecepatannya dalam memahami agama lebih dini, dan memang di sisi lain sosok ibunya pun yang hebat mengaji telah menurun pada dirinya.

Strata sosial Markoni yang menengah keatas selaku orang terpandang, tak juga berhasil menghambat dirinya menjadi anak yang berlaku baik, sopan santun, menjaga hubungan kekeluargaan dan mempertenggangkan kehendak orang lain. Sungguh lain benar anak dulu dan sekarang dan sungguh sempurnalah apa yang diperoleh Markoni dalam kecamata penduduk kamung kala itu. Kenapa tidak? Kampungnya asri, pandai mengaji, serta harta banyak yang diwarisi. Bukankah waktu itu sedang pergolakan penjajahan tentara Belanda? Betul! Namun sekali lagi, ragam tantangan itu tak lagi mampu menaklukkan kegersikannya.

Kita juga akan mendapati dalam Lawanya Saidul Tombang ini bagaimana darah kesatria mengalir pada Markoni, karena ayahnya sendiri merupakan pesilat yang handal. Sehingga digambarkan tidak ada preman pasar yang berani minta uang padanya. Adakah memang Markoni seorang yang berjiwa satria? Seorang yang taat beragama, karena didikan bundanya selama ini? Entahlah, tapi kita coba nanti menelusurinya.

Rumah tangga Markoni dan Jailawa

Tersebutlah bahwa Markoni melarikan diri kamp tawanan Belanda di Solo menuju Poro, sebuah kawasan paling timur kerajaan Minangkabau. Di sanalah dia mengurai janji tunangannya Zahra dan menjalin rumah tangga dengan seorang janda kembang bernama Jailawa.

Menurut saya, dari sinilah berawalnya malapetaka yang menyeret Markoni pada kebimbangan. Rumah tangga yang mereka bina pada tahun-tahun pertama memang menuai kebahagiaan, namun ternyata cinta Markoni tidak cukup dipertahankan dengan hubungan biologis yang kapan pun bisa mereka lakukan. Keretakan demi keratakan mulai menggrogoti pohon cinta mereka, hingga ahirnya si akar tak kuasa lagi menahanya.

Sekarang terjawab sudah pertanyaan kita, ternyata Markoni bukan orang yang berjiwa satria dan juga tak lagi taat beragama. Kalau memang dia berjiwa besar, seharusnya Markoni tak mengukur cinta dengan kehadiran si buah hati, karena cinta yang hakiki itu sendiri tidaklah berharap. Lihat bagaimana ungkapan cinta Rabiatul A’dawiyah pada Tuhannya, “Tuhan kalau aku mencintaiMu karena berharap pada surgaMu, maka jangan pernah Kau pertemukan aku dengannya, dan kalau aku mencintaiMu karena takut nerakaMu, maka jerumuskan aku ke dalamnya, tapi kalau aku mencintaiMu, karena cintaku padaMu, maka terimalah aku.” Sekali lagi lihatlah bagaimana cinta tak pernah minta balasan. Kalau Markoni kecewa hanya tak hadirnya si buah hati dan dengan dalih itu dia tinggal Jailawa, maka kembali saya katakan Markoni tidak berjiwa besar. Tak ada jiwa ke-satriaan ayahnya yang dia warisi. Atau justru jiwa para kolonial-lah yang lebih dominan dalam dirinya, karena didikan penjajah itu selama di kamp.

Kalau pun di beberapa bagian hidup Markoni kita jumpai dia tata beragama, seperti dalam perjalan pulangnya – atau tepatnya seperti kata Saidul Tombang melarikan diri – ke Mahat Markoni melakukan shalat, bahkan shalat yang dalam agama pun boleh dijamakkan, tetapi Markoni tetap ingin melakukannya pada tiap masuk waktu. Maka itu hanya upaya pengarang saja untuk menemukan kembali masa kecil si Markoni. Atau mungkin Saidul yang ingin mengingat masa lalunya di fakultas syariah? Ah, tak taulah, tapi bagi saya kalau memang musafirnya Markoni akan bisa bisa menjadikan dia berjiwa besar lagi dan lebih insyaf dengan mentaati perintah Tuhan, maka andaikata saya bertemu Lawa, maka akan kusampaikan “Lawa! Biarkan suamimu musafir.”

*Wamdi, ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Riau.


Read More......

Minggu, 23 Maret 2008

SALAM UKHWAH


assalamualaikum......

Read More......