Oleh: Wamdi*
Seringkali saya mengajak teman untuk bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) untuk sama-sama berkarya, namun tidak jarang juga saya dapati jawabannya, “Ah, saya tidak berbakat menulis,” sebuah jawaban yang saya kira meng-aborsi-kan kreativitas sebelum ia terlahir. Persoalannya bukan pada berbakat atau tidak, tapi lebih jauh dari itu adalah mau atau tidak, Bukankah moyang kita pernah berpesan, “Kemauan beribu jalan, ke-engganan beribu alasan.” Orang yang mau, matanya nyelang, pikirannya lincah, tangannya cekatan, sedangkan si-enggan akan menyusun ragam alasan, sehingga matanya sayu, pikirannya buntu dan tangannya pun kaku.
Dalam dunia tulis menulis, karang mengarang, bakat tak lebih dari 5% saja, sedangkan yang 95% adalah proses belajar. Mungkin Anda tidak percaya! Namun lihatlah dan sebutlah nama-nama penulis handal; Arswendo Atmowiloto, Goenawan Muhammad, William Chang, Habiburrahman El-Syirazi, Helvi Tiana Rosa, Bondar Winarno, Moh. Sobary, Asma Nadia, Parakitri Tahi Simbolon, Andreas Harefa, atau Wimar Witoular. Mereka tidak dititisi darah menulis dari orang tuanya, namun mereka sendirilah yang menekuninya, berlatih, berlatih, dan berlatih. Memetik sendiri ilmu menulis usai membaca karya tulis orang lain.
Tapi, bagaimana pun menulis membutuhkan kesabaran yang berlipat ganda, kesabaran menjalani proses. Dan justu di sinilah kurangnya daya tahan para penulis pemula. Seorang motivator menulis dari Amerika, Natalie mengatakan, “Pertama menulis janganlah kira berpikir kualitas, namun kuantitas.” Tulisan berkualitas penting, tapi terlepas dari itu adalah telah berapa banyak kita menulis. Sehingga Natalie mengisahkan bagaimana dia menulis, ketika datang kemalasan, justru dia menulis, “Saya sedang malas menulis,” dan itu dia tulis sebanyak-banyaknya. Lihat lagi bagaimana usaha Joni Ariadinata, seorang tukang ojek belajar menulis. Sepulang mencari tumpangan di waktu maghrib, dia mandi dan kemudian membaca sampai larut malam, kemudian sekitar jam tiga bangun kembali dan menulis sampai pagi.
Mungkin anda akan bertanya, bagaimana dengan Andrea Hirata sang penulis Laskar Pelangi, bukankah seumur hidupnya belum pernah menulis sepotong cerpen pun apalagi novel, tiba-tiba menulis dan bukunya best seller? Betul sekali, tapi juga jangan melupakan bagaimana Andrea Hirata menyimpan potongan-potongan perjalanan hidupnya dalam diary. Dan hasil penelitian menyatakan bahwa 75% cerpen/novel yang ditulis anak manusia merupakan pengalaman hidupnya.
Sekarang sudah saatnya si-bakat kita kuburkan dalam-dalam dan kalau pun dia bangkit kembali, biarlah dia menemani perjalanan kita dan menyuntikkan semangat optimisme, sehingga hidup kita yang luar biasa ini tidak kita sandarkan padanya. Mari kita tapaki jejak langkah para ulama yang menjadikan tulisan sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Prancis Bacon suatu ketika mengatakan, “Manusia boleh mati, tapi ia bisa memperpanjang umurnya jika ia meninggalkan sesuatu yang “abadi” yaitu sebuah karya. Karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan kearifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil karya-karya yang lain, semisal monumen istana, candi, atau pun sebuah kota.”
*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Riau
Dalam dunia tulis menulis, karang mengarang, bakat tak lebih dari 5% saja, sedangkan yang 95% adalah proses belajar. Mungkin Anda tidak percaya! Namun lihatlah dan sebutlah nama-nama penulis handal; Arswendo Atmowiloto, Goenawan Muhammad, William Chang, Habiburrahman El-Syirazi, Helvi Tiana Rosa, Bondar Winarno, Moh. Sobary, Asma Nadia, Parakitri Tahi Simbolon, Andreas Harefa, atau Wimar Witoular. Mereka tidak dititisi darah menulis dari orang tuanya, namun mereka sendirilah yang menekuninya, berlatih, berlatih, dan berlatih. Memetik sendiri ilmu menulis usai membaca karya tulis orang lain.
Tapi, bagaimana pun menulis membutuhkan kesabaran yang berlipat ganda, kesabaran menjalani proses. Dan justu di sinilah kurangnya daya tahan para penulis pemula. Seorang motivator menulis dari Amerika, Natalie mengatakan, “Pertama menulis janganlah kira berpikir kualitas, namun kuantitas.” Tulisan berkualitas penting, tapi terlepas dari itu adalah telah berapa banyak kita menulis. Sehingga Natalie mengisahkan bagaimana dia menulis, ketika datang kemalasan, justru dia menulis, “Saya sedang malas menulis,” dan itu dia tulis sebanyak-banyaknya. Lihat lagi bagaimana usaha Joni Ariadinata, seorang tukang ojek belajar menulis. Sepulang mencari tumpangan di waktu maghrib, dia mandi dan kemudian membaca sampai larut malam, kemudian sekitar jam tiga bangun kembali dan menulis sampai pagi.
Mungkin anda akan bertanya, bagaimana dengan Andrea Hirata sang penulis Laskar Pelangi, bukankah seumur hidupnya belum pernah menulis sepotong cerpen pun apalagi novel, tiba-tiba menulis dan bukunya best seller? Betul sekali, tapi juga jangan melupakan bagaimana Andrea Hirata menyimpan potongan-potongan perjalanan hidupnya dalam diary. Dan hasil penelitian menyatakan bahwa 75% cerpen/novel yang ditulis anak manusia merupakan pengalaman hidupnya.
Sekarang sudah saatnya si-bakat kita kuburkan dalam-dalam dan kalau pun dia bangkit kembali, biarlah dia menemani perjalanan kita dan menyuntikkan semangat optimisme, sehingga hidup kita yang luar biasa ini tidak kita sandarkan padanya. Mari kita tapaki jejak langkah para ulama yang menjadikan tulisan sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Prancis Bacon suatu ketika mengatakan, “Manusia boleh mati, tapi ia bisa memperpanjang umurnya jika ia meninggalkan sesuatu yang “abadi” yaitu sebuah karya. Karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan kearifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil karya-karya yang lain, semisal monumen istana, candi, atau pun sebuah kota.”
*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar