Jumat, 15 Mei 2009

Mahasiswa dan Masa Depan Indonesia


Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan
Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan
(Taufiq Ismail, 1966)
Mahasiswa yang dikenal sebagai educated people (kaum terpelajar) mempunyai tanggung jawab besar dalam memperbaiki bangsa ini. Gelar sebagai Agent Of Change yang disematkan padanya semestinya menjadi spirit yang selalu menggelora sepanjang masa, karena ‘change’ adalah kemutlakan dalam kehidupan ini. Namun, pertanyaannya kemana kita pergi?
Indonesia yang katanya ‘Tanah air beta’ ini tengah dihadapkan dengan beragam problematika. Krisis kepercayaan merebak ke setiap individu anak bangsa bersamaan luluhnya kejujuran, karena semakin meningkat krisis kepercayaan, maka ini indikasi semakin menurunnya kejujuran. Rakyat di negeri ini memang betul-betul diartikan sebagai rakyat, kalaupun ada yang melirik mereka, maka dapat dipastikan itulah masa-masa pilkada dan pemilu yang kata orang tua kita dulu ada udang di sebalik batu. Namun, ketika berbicara kesejahteraan dan kemakmuran – terpenuhi makan, pendidikan dan kesehatan – maka itu hanya agenda yang kesekian kali dan prioritas masa ahir jabatan agar terpilih kembali. Inilah pertanda sebuah bangsa yang menuai degredasi moral, ia manusia yang tak mengenal penderitaan manusia. Seperti yang dikatakan Titus Maccius Plantus ratusan tahun silam, “Homo Homini Lupus” (Manusia pemangsa bagi sesamanya).
Secara de jure dan de fakto kita memang merdeka dan itu telah 63 tahun lamanya 64 tepatnya Agustus 2009 besok. Penjajah tak lagi berseliweran di depan mata kita, ia tak lagi minta upeti dari jerih payah rakyat kita. Namun, ternyata yang muncul adalah ‘penjajah’ baru, matanya sama dengan mata kita, kulitnya tak berbeda dengan kita, tingginya setinggi kita, tapi ia lebih penjajah dari penjajah,. ia orang yang mau terkurung di luar, ia menggunting dalam lipatan. Reformasi yang meminta ‘tumbal’ dari perjuangan mahasiswa, sampai kini belum ada perubahan yang subtantif. Sistem pemerintahan yang berubah sentralisasi menjadi desentralisasi justru menjadi lahan subur bagi para koruptor untuk lebih leluasa mencengkramkan kukunya. Seperti yang dirangkai Sutarji Calzoum Bachri,
Tanah air kita satu
Bangsa kita satu
Bahasa kita satu
Bendera kita satu
Tapi wahai saudara satu bendera
Kenapa kini, ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?

Inilah sebagian kecil problem yang mendera bangsa ini, yang semakin hari semakin menggelinding menjelma menjadi bom waktu. Kalau mahasiswa terdiam, acuh, apalagi apriori dengan semua ini, maka ‘kutukan’ para pendahulu kita angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1998 yang telah mengorbankan segenap kemampuan mereka buat keberlangsungan negeri ini lambat laun akan menimpa kita. Ia bisa berbentuk dangkalnya nasionalisme anak bangsa, pesimisme, dan kalau itu berobah menjadi apatisme, kata pahlawan reformasi Amin Rais, “Masih bisakah kita melihat masa depan kita dengan kepala tegak dan yakin diri?”
Melihat ini semua, mahasiswa yang merupakan iron stock (cadangan masa depan) harus mempersiapkan diri dan memaksimalkan potensinya. Inilah yang tergambar dalam ‘Tri Darma Perguruan Tinggi’ Selaku insan akademis ia mesti belajar dan belajar, melakukan penelitian demi penelitian hingga mempunyai spesialisasi keilmuan yang semuanya itu sangat dibutuhkan bangsa ini. Karena, salah satu indikator sebuah bangsa yang maju adalah banyaknya penelitian yang dilakukan. Kemudian mahasiswa harus terlibat dalam ragam kegiatan kampus, lewat organisasi-organisasi, karena masih banyak hal yang tidak didapatkan di ruangan kelas. Di organisasilah ia akan belajar memimpin, membangun human relation, dan ragam kegiatan lainnya. Selanjutnya mahasiswa tidak boleh menjadi ‘menara gading’ yang indah dipandang, namun sulit dijangkau. Mahasiswa mesti memasyarakat, ia tak boleh berjibaku dalam laboratorium sepanjang waktu. Maka, pengapdian pada masyarakat merupakan hal yang tak bisa ditawar dan mesti ia lakukan.
Dengan melakukan peran-perannya selaku creative minority, maka mahasiswa tengah mengoret-oret masa depannya yang juga masa Indonesia. Seperti yang dikatakan para founding fathers bangsa ini,
Kalau kalian tidak menginginkan Indonesia hilang dari peta dunia, maka cintailah ia sepenuh hati, yaitu dengan keikhlasan.”




Read More......

Sabtu, 02 Mei 2009

Selamat Jalan Mbak Intan…


“Aslm innalillahi wa inna ilaihi raji’un, telah berpulang kerahmatullah Ruwaida Mutia krn asma, mari kita doakan bersama saudari qt.

Inilah sms yang masuk ke hp saya ketika baru sekitar lima menit sampai ke Bangkinang dalam agenda dakwah. Terus terang saya terkejut, karena baru dua hari yang lalu saya dan teman-teman Forum Lingkar Pena (FLP) termasuk dia rapat di galeri Ibrahim Sattah membicarakan agenda talk show nasional, dan dia bendahara dalam kepanitiaan tersebut. Mendapat kabar tersebut saya langsung minta diantar pada akh Firdaus ke jalan raya Bangkinang untuk kembali ke Pekanbaru. Di mobil pun saya masih sibuk mengirimkan sms tersebut ke teman-teman FLP lainnya termasuk pengurus FLP pusat. Ketika saya sampai di klinik dr. Hasni sekitar pukul 11.45 orang-orang – umumnya kader dakwah – telah berjibun di sana, sehingga saya tak sempat melihat langsung jenazah beliau. Tak lama setelah itu beliau pun di boyong ke rumah neneknya untuk di mandikan dan prosesi fardu kifayah lainnya.
“Yang lain mana, Mbak?”
“Belum nampak.”
“Mbak! Ustadz minta surat itu secepatnya. Mbak Intan bisa ketikkan?”
“Kapan ane serahkan?”
“Besok pagi.”
“Di mana?”
“Di Arfaunnas.”
“Insya Allah.”
“Atau Mbak antarkan ke komsat aja, bisa!”
“O, iyalah. Insya Allah bisa.”

Setiap orang yang berjumpa/ berteman atau berorganisasi dengan Ruwaida Muthia atau akrabnya Intan Amlan tentu punya kenangan yang beragam bersamanya. Apalagi orang tua dan sanak saudaranya yang tentunya lebih banyak berinteraksi dengannya. Saya saja yang baru setahun lalu – tahun 2008 ketika muswil FLP di rumah teh Dina – mengenalnya dan kemudia sama-sama sebagai pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah riau, telah menyimpan dokumentasi kebaikannya, apalagi mereka yang telah mengenalnya lebih dahulu dari saya.
Percakapan pada tulisan ini adalah sebagian interaksi saya dengan beliau. Di FLP beliau sangat aktif, baik hadir dalam agenda syuro maupun masukan-masukan lewat telepon/sms, termasuk beberapa waktu lalu beliau sempat bilang, “Pak, ane kira tempat talk show di BPA itu nggak muat, karena biasanya peserta itu membludak pada hari H-nya.”Tidak jarang juga pada syuro yang kita agendakan ia telah hadir duluan on-time seperti yang saya temui di puswil, sementara yang lain masih belum terlihat. Namun, ia telah pergi, ya Allah telah memanggilnya sebelum ia sempat bertemu mbak Asma Nadia seperti yang ia impikan sebelumnya. Laksana Amar bin Yasir, Mus’ab bin ’Umair, Hamzah bin Abdul Muthallib, Mu’az bin Jabal dan para syuhada lainnya yang terkubur di Baqi’ sebelum sempat menyaksikan kemenangan Islam. Ia memang tak berjumpa Asma Nadia, ia tak sempat menyaksikan meriahnya acara, namun ia berjumpa dengan pemilik jagad raya Allah Swt, laiknya para syuhada yang disambut para bidadari yang bermata jeli. Semoga.
Dalam hal kepenulisan Intan telah menunjukkan eksistensinya, ia sangat mengerti makna kehidupan ini, karena hidup sesungguhnya tidak bisa dibatasi oleh usia. Boleh jadi ada orang yang berakhir hidupnya bersama tamatnya usia, atau bahkan tak dihitung hidup walaupun usia masih tersisa. Namun Intan telah keluar dari ruang tersebut, ia telah bekerja buat peradaban. Seperti dikatakan Francis Bacon, ”Manusia boleh mati, tapi ia bisa memperpanjang umurnya, jika ia meninggalkan sesuatu yang ’abadi’ yaitu sebuah karya. Karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan ke’arifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil-hasil karya yang lain, semisal monumen istana, candi ataupun sebuah kota.” Terbukti dua naskah buku non fiksinya sekarang lagi digarap penerbit. Begitupun dalam naskah antologi cerita pendek FLP Riau. Beliau sebagai Humas FLP cukup concern pada amanahnya, walaupun terkadang perlu saya ingatkan untuk selalu me-update tulisan-tulisan di blog yang dikelolanya. Makanya kita di FLP betul-betul kehilangan anggota sekaligus pengurus terbaik seperti beliau.
Semoga catatan ini singkat merupakan bagian dari upaya kita untuk mengakui bahwa ia pernah ada di gelanggang kehidupan ini. Kalau dulu ketika ia lahir disambut dengan kegembiraan, maka dihari kembali kepada-Nya tidak sedikit yang berderai air mata sampai saat ia diantarkan ke tempat peristirahatan terahir.
Buat teman-teman FLP kembali kita rapatkan shaf. Banyak hal yang harus kita perbaiki ke depannya, termasuk peningkatan kualitas penulisan dan manajemen organisasi. Ukhtina Intan telah menunaikan amanahnya dengan baik, dan bagi kita kembali menyelesaikan tugas-tugas yang masih banyak harus kita sempurnakan.
Selamat jalan mbak Intan…semoga kita bertemu di ‘kafe langit’ dan ‘menulis’ buat selamanya.



































































Read More......

Goresan Kebenara


Oleh: Wamdi*

“Saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku letakkan kepala
dan saat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah,
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?”
(Imam An-Nawawi)

Apa yang menyentak-nyentak hati mereka, sehingga tergugah mengunjungi sang guru walaupun telah berdiam di balik jeruji besi? Tiada lain selain kebenaran qaul (ucapan) dan upaya membumikannya, sehingga ia tumbuh laksana pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan pucuknya menjulang ke langit. Kata-kata yang tak menuai pelapukan tatkala hujan dan tak mengalami kelekangan di musim panas. Ia tempat si musafir bernaung dari sengatan sang surya, payung raksasa manakala hujan. Di akarnya mereka bersila, di batangnya mereka bersandar, dan memetik buah ranum manakala lapar.
”Madza sana’mal lakum, ya ustazina? (Apa yang bisa kami lakukan untuk anda wahai guru?”
”Tolong berikan padaku arang-arang yang berserak di luar itu,” jawab sang guru dengan suara agak melemah karena diguras penyiksaan dari hari ke hari. Lewat goresan arang-arang tersebutlah lahir karya-karya monumental yang menjadi referensi bagi generasi berikutnya dan orang yang mereka panggil guru tersebut adalah Syekh Imam Ibnu Taimiyah rohimallahu.
Tradisi menulis di kalangan para ulama – tepatnya di kalangan umat Islam – bukanlah hal yang baru. Ini terlihat dari kitab-kitab yang menjadi bahan rujukan para pengajar, santri di pesantren-pesantren, universitas-universitas dan tempat pengajian lainnya. Tulisan-tulisan para ulama tersebut menjadi referensi karya ilmiah.
Lalu pertanyaannya, apa yang membuat goresan tinta mereka ’abadi’ sebagai rujukan? Jawabannya tentu keikhlasan, ya keikhlasan menuliskan kebenaran. Mereka adalah para dai yang memahami keterbatasan usia. Mengerti muhimmah (urgensi) yang dipendam dalam sebuah tulisan. Maka asimilasi keterbatasan usia dan urgensi sebuah tulisan inilah yang menggerak pribadi-pribadi mereka untuk selalu menelurkan karya yang pada akhirnya akan menetas menjadi kebenaran yang melintasi generasi, teritorial di mana mereka sendiri tak pernah hadir di sana.
Lihatlah Sayid Qutb dengan Tafsir Fi Zhilalil Qur`an dan Maalim Fit Thariqnya, HAMKA dengan tafsir Al-Azharnya. Karya-karya tersebut terlahir di balik jeruji besi. Sayid Qutb yang ditahan Gamal Abdul Nasser karena dituduh melakukan egitasi Antipemerintah, HAMKA yang dianggap sebagai penghianat pada tanah air. Namun, mari kita dengarkan apa yang dikatakan HAMKA, “Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al Qur’anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa terpencil dua tahun telah saya pergunakan untuk sebaik-baiknya.”
Raga mereka boleh saja disiksa, namun jiwa mereka adalah jiwa yang merdeka. Fisik mereka bisa saja dikungkung, namun nuraninya terbang sebebas-bebasnya. Jasad mereka memang didera penderitaan tiadatara, namun gagasan dan ide besar mereka telah melanglangbuana menembus selat dan benua. Seperti yang dikatakan Abdullah Azzam, “Sejarah Islam ditulis dengan hitamnya tinta ulama dan merah darahnya para syuhada.”

*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Riau.

Read More......

Sepucuk Surat Buat Mahasiswa

Oleh: Wamdi

Kawan!

Apa kabarmu pagi ini?

Adakah jawabanmu seperti semasa kita PNDK dulu?

“Alhamdulillah! Luar biasa!”

Tegas, lugas, semangat dan penuh wibawa

Atau pagi ini kau masih tertidur

Walaupun mentari telah meninggi

Kalau kau kutanya nanti

Jawabmu,

Tadi malam belajar sampai larut malam

Kawan!

Kusarankan,

Besok malam kau letakkanlah jam weker di sampingmu

Biar jangan kau takik ilmu di kepala

Tapi tak ada aplikasi di alam nyata

Aku tau kau takut pada dosenmu

Tapi tak takutkah kau pada si Penguasa dosenmu?

O, maaf!

Cepatlah mandi

Bukankah negeri kita ini macet di sana sini

Bisa-bisa terlambat kau nanti

Bertemu dosen emosi

Kawan!

Kenapa kau tediam?

Mimpi apa sebenarnya kau semalam?

Mimpi kampus kita yang megahkah kiranya?

Yang pelayanan birokrasinya mudah?

Dengan masjid di tengah-tengahnya?

Yang berhenti aktivitas setiap waktu shalat?

Atau kau sedangkan memikirkan KHS kita yang tak siap-siap

Dengan bayaran ini, bayaran itu yang semakin meningkat

Ah, kita terlalu lembut, Kawan

Sehingga kelembutan kita dimanfaatkan

Kawan!

Sambil duduk-duduk

Kusampaikan padamu pesan pendahulu kita

angkatan ’28, ’45, ’65, 74 dan ‘98

yang ditulis Taufiq Ismail dalam puisinya ‘Salemba’

“Alma Mater, janganlah bersedih

Bila arakan ini bergerak berlahan

Menuju pemakaman

Siang ini

Anakmu yang berani

Telah tersungkur ke bumi

Ketika melawan tirani.”

Kawan!

Satu hal lagi yang ingin kuingatkan padamu,

“KITA MAHASISWA!!!”


Read More......